Mohon tunggu...
Piccolo
Piccolo Mohon Tunggu... Hoteliers - Orang biasa

Cuma seorang ibu biasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lubang Ukuran 2.5 x 1.5 Meter yang Kusiapkan Disampingmu

10 Oktober 2020   23:18 Diperbarui: 10 Oktober 2020   23:33 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tia sibuk menyusun kebutuhannya untuk berlibur akhir pekan bersama sahabat-sahabatnya. Kali ini mereka memilih untuk menginap di villa, bukan mendaki gunung seperti yang biasa mereka lakukan. Mereka sedang ingin bermanja-manja kali ini. Menikmati alam dengan santai tanpa tantangan dan resiko. Puncak Gunung Telomoyo, Salatiga yang kali ini menjadi tujuan mereka. Di sana, ada rute kendaraan menuju Puncak tanpa harus mendaki.

"V60 sudah, dripper sudah, paper filter sudah, coffee bean sudah, grinder manual juga sudah, swan kettle sudah. Sudah aman!" Tia mengabsen satu per satu kebutuhannya.

"Jakcet-mu? Kaos kaki-mu? Sarung tanganmu?" Ana mengingatkan sahabatnya itu.

Tia hanya melemparkan raut wajah penuh iba ketika Ana membongkar kembali isi ranselnya dan tak menemukan barang-barang yang disebutkannya tadi.

"Jangan dikeluarin semua dong. Entar aku gimana di sana?" Tia mengiba.

Bagi Tia, kopi adalah napasnya. Sekaligus darahnya. Dia paham dengan sangat dalam hampir semua jenis kopi Nusantara. Tak jarang, Tia juga mengikuti kegiatan-kegiatan bertema kopi. Tia juga tergabung dalam komunitas barista otodidak bersama pecinta-pecinta kopi lainnya. Kecintaan Tia pada kopi semakin bertumbuh semenjak Tia meraih tropi pertamanya ketika dia mengikuti kompetisi manual brew untuk kategori aeropress, salah satu manual brew yang jarang diminati kala itu. Dia bahkan berhasi mengalahkan barista professional dari rumah kopi ternama. Jadilah Tia semakin menggilai kopi, dan namanya semakin dikenal banyak barista dan pelakon kopi Ibu Kota.


Tinnnn tinnnn tinnnn.....

Suara klakson mobil Vera begitu bisingnya terdengar dari depan rumah. Mereka harus bergegas. Kali ini mereka sengaja berangkat malam hari untuk bisa menikmati matahari terbit dari Puncak Gunung.

"Berisik tauuu.." Tia memperlihatkan bibir manyunnya.

"Buruan...." Sahut Tere dari mobil belakang.

Mereka perempuan yang luar biasa mandiri. Bepergian keluar kota tanpa seorang pun laki-laki yang menjaga mereka. Dulu mereka hanya orang asing yang tak saling kenal. Tere dulu adalah rekan kerja Ana sebelum pindah ke tempat kerjanya yang sekarang. Sering bertamu ke kost Ana yang sekamar dengan Tia, akhirnya membuat Tere dan Tia pun begitu akrab. Vera dulu hanyalah mantan calon Kakak Ipar Ana. Tapi kandasnya rencana pernikahan Vera dengan Abdul, kakak Ana justru membuat mereka semakin akrab.

"Gantiin aku nyetir dong. Rada berat nih mata." Vera rupanya sudah mulai mengantuk.

Dia bertukar posisi dengan Tia. Urusan jalan lintas malam, Tia memang nomor wahid. Insomnia Tia rasanya memang sudah perlu bantuan professional.

***

"Uda nyampe, woiii... Bangun!!!" Tia membangunkan sahabat-sahabatnya.

Mereka lalu menuju keluar mobil. Meluruskan kaki dan pinggang yang sudah pegal sembari menunggu rombongan mobil Tere. Udara malam di sana begitu dinginnya. Langit masih membentangkan layar hitamnya. Gelap malam membuat cahaya bintang begitu terlihat sempurna. Semakin sempurna dengan irama jangkrik yang bernyanyi menyuarakan suara alam.

Mereka menunggu di titik yang sudah disepakati sebelumnya. Telomoyo memang tak setinggi dan seekstrim puncak lain yang pernah mereka taklukkan. Tapi keindahan alamnya jelas tak kalah dengan hijaunya bukit dan terjalnya jurang yang pernah mereka tapaki.

"Bi, air panas mendidih ya." Tia memesan setermos air panas untuk menyeduh kopinya. Sudah hampir jam empat subuh. Dia lalu mengeluarkan seperangkat kebahagiannya dari dalam ransel, sementara yang lain sibuk dengan jaket dan sarung tangan mereka. Sebentar lagi pertunjukkan akan dimulai.

Dan,,,

Tak ada kata yang bisa menjelaskan keindahan apa yang sedang dinikmati mata mereka. Jingga yang malu-malu seolah masih malas meninggi, kabut tipis yang menutupi jingga yang masih sayup mengantuk, cahaya bulan dan bintang yang masih belum sepenuhnya hilang, kerlip lampu dari bawah kota yang terlihat seperti cahaya kunang-kunang, udara yang masih begitu murninya. Begitu sempurna Tuhan menciptakan alam ini.

Tia tak sabar mengambil Canon EOS 6D Mark II miliknya untuk mengabadikan keindahan yang sedang dinikmati matanya. Kelak, ketika menua, foto-foto itu akan dia bagikan pada anak cucunya. Kepiawaian Tia mencari angle cantik pada setiap fotonya tak kalah dengan kepiawaian tangannya meracik kopi. Hal yang paling membuat mereka begitu memilih dekat dengan alam adalah; semakin dekat dengan alam, mereka semakin disadarkan pada Keagugan Sang Pencipta. Berharap waktu bisa berhenti sebentar agar mereka bisa lebih lama menikmati indahnya karya Tuhan.

"Mau buatkan aku secangkir kopi?" Tia menurunkan kameranya, mengalihkan pandangannya pada sumber suara yang baru saja menyapanya. Keringat dingin seketika membasahi seluruh tubuhnya.

Tia rubuh begitu saja. Dia mendadak hilang kesadaran. Ana sibuk mengoleskan minyak kayu putih di ujung hidung Tia, berharap Tia bisa segera siuman.

"Kau apakan Tia?" Ana mendorong dada Yuda sampai nyaris terjatuh.

"Tapi aku nggak ngapa-ngapain kok. Aku cuma...."

"Tolong jangan ikutin kami sampai ke rumah sakit. Tolong" Ancam Ana sambil mengarahkan jari telunjuknya dekat dengan wajah Yuda.

"Oke. Tapi setidaknya tolong kabari aku kondisi Tia."

Mereka bergegas membawa Tia ke rumah sakit terdekat. Tia kesulitan bernapas. Tak ada yang tau pasti tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Tia.

Suster bergerak secepat kilat. Memasang infus dan selang oksigen. Tia tetap tak merespon sakitnya ditusuk jarum infus.

***

Bam!!!

Suara bantingan pintu mengejutkan Tia dari tidur nyenyaknya. Dia bergegas bersembunyi ke dalam lemari. Mengintip penuh takut dari balik celah lemari. Dia terisak-isak menahan tangisnya. Pemandangan mengerikan yang sehari-hari terpaksa dia tonton.

Prangg!!!

Suara pecahan kaca begitu meriah terdengar dari arah dapur. Tia mengendap-endap merayap ke sudut tempat tidur meraih hp-nya. Dia berjuang melawan rasa takutnya demi untuk mencari pertolongan.

Na, tolong aku. Tolong Mama. SEKARANG!!!

Tak ada respon dari Ana. Tia gemetar menanti centang dua di layar hp nya berubah menjadi warna biru. Sementara Tia masih harus dipaksa mendengarkan pertengkaran hebat orang tuanya yang belum juga reda.

"Kubunuh kau!" Teriakan Cokro meninggi seperti petir.

Tia berlari menuju dapur. Dia sudah tak peduli lagi pada pesan Ibunya. Dia berlari menerabas pecahan beling demi memeluk Ibunya yang sudah tergeletak di lantai penuh darah. Tia menyeret linggis yang sudah lama disiapkannya di kolong tempat tidur. Cokro rubuh.

Tia meletakkan jarinya dibawah hidung Meta. Berharap Ibunya masih bernapas setelah penuh luka dan mengeluarkan banyak darah.

"Kubunuh kau!!!" Ucap Tia lirih penuh dendam di hadapan tubuh Cokro yang sedang kehilangan kesadaran.

"Tiaaa...." Teriakan Ana dan kedua orang tuanya menyadarkan Tia dari setan yang sedang merasuki otaknya.

"Polisi lagi jalan ke sini. Papa tunggu polisi nyampe. Mama antar mereka ke rumah sakit, ya. Nanti Papa nyusul." Berta menuruti arahan Fahri.

Meta meninggal ketika sedang ditangani dokter. Kondisinya memang parah. Benturan di kepala belakangnya membuat pembuluh darahnya pecah. Tia menyalahkan dirinya sendiri. Andai aku tak bersembunyi terlalu lama di dalam lemari, mungkin Mama masih bisa selamat.

Sejak kehilangan Meta, Tia tinggal bersama Ana dan keluarganya. Tia tak pernah ingin kembali ke rumah itu. Tia pernah meminta bantuan orang tua Ana untuk menjual rumah itu. Tapi orang tua Ana melarang. Karena rumah itu dibeli Meta dari hasil keringatnya. Tia tak kehilangan tempat berteduh. Berta dan Fahri memberikan Tia rumah baru untuk pulang.

***

"Tia mengidap Philophobia." Vera menjelaskan.

"Maksud Kakak?" Ana mulai serius menanyakan kondisi Tia.

Vera memang seorang Psikolog. Mudah saja untuk Vera untuk bisa melakukan konseling dengan Tia tanpa harus duduk sebagai therapis dan pasien. Vera pernah mengundang Tia untuk datang ke tempat prakteknya. Tapi Tia menolak. Mereka memang dekat, tapi untuk luka batin masa kecilnya, Tia tak pernah mejelaskan pada siapa pun. Kecuali Ana dan orang tuanya yang juga sudah dipanggil Papa dan Mama oleh Tia.

"Philophobia; serangan yang muncul karena rasa takut dicintai atau mencintai. Ya, ini termasuk gangguan mental. Di kondisi serius, bisa memicu bunuh diri. Gejalanya ,ya seperti yang kita lihat waktu di Telomoyo tempo hari." Jelas Vera.

"Beberapa kali Tia memang pernah coba bunuh diri, Kak. Seminggu pertama kehilangan Tante Meta, Tia kacau. Mama sempat bawa Tia ke psikolog anak." Ana menambahkan cerita-cerita masa kecil Tia. Mungkin bisa membantu Vera untuk mempertimbangkan tindakan apa yang harus diambil.

"Inner child-nya Tia memang terluka parah. Ini yang harus kita sembuhin. Apa yang sudah dilewati Tia di masa kecilnya memang nggak bisa dibilang mudah. Dia hebat bisa bertahan sampai sekarang, walau pun akhirnya harus mengidap philophobia."

"Terus aku bisa bantu apa supaya Tia kembali pulih, Kak?"

"Aku mau ketemu Yuda. Yuda orang pertama yang harus dijauhi dari Tia supaya Tia nggak terpancing. Setidaknya sampai aku ijinkan Yuda untuk menemui Tia, karena pada akhirnya nanti, mereka memang harus bertemu. Tapi kau juga mesti tau, waktunya nggak singkat. Tia nggak ngelanjutin niatnya untuk bunuh diri aja udah bagus. Sedikit aja Tia sadar kalo dia lagi di therapy, Kakak takut itu justru bikin dia ngerasa tertekan dan mendatangkan kembali niat itu."

"Seserius itukah, Kak?" Air mata Ana turun deras tanpa terkendali.

"Tia pasti sembuh. Dia butuh kita." Vera menggenggam tangan Ana. Berharap ada energy positif yang bisa dia salurkan untuk Ana.

"Yud, lagi sibuk? Aku sama Kak Vera mau ketemu. Penting!!!"

Ana membagikan peta lokasi mereka lewat whatsapp. Yuda bisa melihat ada sesuatu yang serius yang akan dihadiahkan untuknya. Sangat serius malahan. Mata sembab dan hidung kemerahan seperti tomat yang terlihat pada wajah Ana membuat jantung Yuda seperti dipukul-pukul.

"Pesen dulu, Yud." Vera menyodorkan buku menu untuk Yuda.

"Kak, langsung aja. Ada apa." Yuda sudah sangat penasaran.

"Tia sakit, Yud. Philophobia."

Yuda mengernyitkan dahinya. Alis tebalnya mengkerut berliuk-liuk. Vera menangkap kode penuh kebingungan dari wajah Yuda. Pelan dan sabar Vera menjelaskan kondisi Tia.

"Aku harus apa, Kak?" Tanya Yuda tanpa basa basi.

"Menjauh dari Tia sampai aku ijinkan kau bertemu dia."

"Sampai kapan?" Tanya Yuda lemas. Bagaimana mungkin aku harus menjauh, lebih jauh lagi dari Tia. Selama ini aku bahkan hanya bisa memperhatikan Tia dari kejauhan. Lirih batin Yuda.

"Lama, Yud. Sangat lama. Mungkin bertahun." Vera menjelaskan.

Yuda jelas ingin berontak. Tapi dia bisa apa? Nyawa Tia jelas yang terpenting.

"Kau berniat mundur?" Pertanyaan Ana lebih terdengar seperti keraguan.

"Andai aku bisa membiarkan perempuan lain mengisi hatiku, aku tak perlu lama menunggu Tia sejak SMA, Na. Kau tau itu."

"Setelah kau tau kondisi Tia, kau akan mundur?" Ana mencoba mendapatkan jawaban lagi dari Yuda.

"Ayolah... Ini bukan pertanyaan yang harus aku jawab. Aku sudah bertahan sejauh ini untuk Tia." Yuda menekankan kalimatnya.

"Sembuhin Tia. Sekali pun setelah sembuh dia akhirnya jatuh cinta pada orang lain, setidaknya aku bisa melihat dia hidup normal."

***

Yuda hanya bisa mencari tau perkembangan Tia lewat Ana. Dia bahkan terpaksa menerima tawaran pekerjaan di luar kota demi menjauh dari Tia. Dia tak ingin therapy demi therapy terselubung yang sudah dilewati Tia menjadi sia-sia. Sudah lima tahun Yuda bahkan hanya bisa menatap foto Tia yang diambil secara diam-diam oleh Ana atau Vera.

Vera bahkan sudah memiliki seorang anak, Ana juga sudah menikah. Tia kembali tinggal bersama Meta dan Fahri karena Ana tak mengijinkan Tia tinggal sendiri di kost. Tapi Yuda masih tetap dengan hatinya yang tak juga berpaling. Rindu entah sudah menggunung setinggi apa. Terkadang ketika Vera sedang melakukan hypnotherapy pada Tia, Ana juga mengajak Yuda menonton lewat video call. Tia begitu dekat. Hanya tak bisa disentuh. Begitulah cara Ana hari demi hari menjadi jembatan bagi Tia dan Yuda.

Yuda bergegas mencari tiket pesawat tercepat yang akan terbang ke Jakarta. Kabar terbaru yang diterimanya beberapa menit lalu membuat jantungnya seperti berhenti berdetak.

Bertahan, Tia. Tolong bertahan.

Kalimat itu berulang-ulang diucapkan Yuda. Lebih baik bagiku melihat kau mencintai laki-laki lain, ketimbang harus melihatmu terbaring koma di rumah sakit. Ternate -- Jakarta yang membutuhkan waktu terbang 3 jam 25 menit itu rasanya berubah menjadi 3 tahun. Yuda gelisah di sepanjang penerbangan. Hampir empat jam dia tak bisa terhubung ke jaringan internet dan telepon selama mengudara.

Kaki Yuda lemas, nyaris tak mampu menopang tubuhnya. Kondisi Tia jelas menyayat hatinya. Yuda tak pernah berpikir bahwa pertemuan pertamanya dengan Tia harus seperti ini. Setelah sekian tahun Yuda menanti hari ini. Hari dimana matanya bisa menatap langsung perempuan yang sudah dicintainya sejak SMA.

"Na, kok bisa?" Tanya Yuda lemas.

"Om Cokro sudah bebas, Yud. Dia tiba-tiba muncul. Kami kecolongan. Kami tak pernah berpikir hukuman penjara belasan tahun tak juga membuatnya jera. Om Cokro tiba-tiba datang ke rumah." Ana terbata-bata menceritakan apa yang terjadi pada Tia.

"Philophobia-nya gimana?"

"Kak Vera bilang sih Tia sudah bisa berdamai dengan inner child-nya. Tapi nggak tau setelah kejadian ini."

Sudah hampir sejak kemarin Tia belum juga sadar. Sudah sejak kemarin juga Yuda tak beranjak dari samping Tia. Kesungguhan Yuda mencintai Tia memang bukan main-main.

Yud, aku mau ngomong serius. Tapi nggak di kamar Tia. Aku sudah janji ke Tia untuk nggak bilang ini ke kamu. Tia memang sedang tidak sadar sekarang, tapi aku yakin jiwanya masih bisa ngedengerin kita. Dia Cuma nggak bisa respon aja. Aku di kantin sekarang. Ana gantiin kamu jaga Tia sebentar, ya. Sebentar aja.

"Buruan, gih." Ana tiba-tiba muncul.

Yuda menurut walau sebenarnya dia tak ingin beranjak dari samping Tia. Dia menyentuh lembut tangan Tia.

"Aku pergi sebentar, ya. Kali ini aku janji sebentar aja. Jangan nakal, ya." Bisik Yuda lembut di telinga Tia.

"Titip Tia, ya, Na." Yuda berpamitan pada Ana. Ana hanya menjawab dengan anggukan lembut.

Yuda melangkahkan kakinya menuju kantin rumah sakit. Tapi hatinya tak sedikitpun berhenti berpikir tentang Tia.

"Ada apa, Kak?" Tanya Yuda terburu-buru.

"Yud, aku minta kau harus tetap sehat. Tia...."

"Gimana aku bisa tetap sehat sementara Tia kondisinya seperti itu, Kak? Gimana caranya aku bisa lanjutin hidup aku tanpa Tia, Kak?" Tangis Yuda pecah memotong kalimat Vera yang belum selesai.

"Yud, Tia pernah bilang ke aku waktu sesi hypnotheraphy tempo hari. Dia pengen nikah, Yud. Dia sudah sembuh dari luka batinnya. Dia sudah berdamai dengan inner child-nya. Dia bahkan sudah berani meikirikan pernikahan. Dan itu dengan kamu."

Yuda terdiam mendengar ucapan Vera barusan. Senyum kecil mulai terlihat dari wajah Yuda. Harapannya meninggi. Penantiannya selama ini tak sia-sia. Cintanya selama bertahun-tahun ternyata berbalas.

"Sekarang makanlah sedikit. Sedikit ajaaa... supaya kamu punya tenaga untuk menjaga Tia."

"Mbakkk, ayam penyetnya dua. Satu dada, satu paha. Jus jeruknya dua. Satu hangat, satu dingin." Hanya selang sedetik setelah Vera mengucapkan kalimatnya, Yuda langsung memanggil penjaga kantin untuk memesan makanan.

Yuda menyusun sepiring ayam penyet paha dan jus jeruk hangat lengkap dengan sendok dan garpu tepat di kursi kosong yang ada di sampingnya. Vera meneteskan air mata haru melihat dalamnya keyakinan Yuda akan cinta mereka.

"Kakak tau nggak... Tia itu kalo makan ayam cuma mau bagian pahanya doang. Terus kalo minum jus jeruk pasti harus hangat." Yuda bertutur penuh semangat. Ada cinta yang dalam dari tiap kalimat yang terucap dari mulut Yuda tentang Tia. Semua orang bisa melihat itu.

"Perjuangan Tia untuk sembuh dari Philophobia-nya  luar biasa, Yud. Dia sendiri malah nggak sadar betapaaaa dia jatuh cinta sama kamu sejak kalian masih SMA. Mentalnya memang pernah terguncang. Terluka sangat dalam. Dan itu disebabkan oleh orang terdekatnya yang seharusnya memberi dia rasa aman."

Yuda memang sudah mengenal Tia sejak masih sekolah, tapi Yuda tak pernah tau apa yang membuat Tia kehilangan Ibunya.

"Yud, Tia itu hanya anak kecil yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa. Kelak, berikan dia kenyamanan dan rasa aman yang tak pernah dia dapat sepanjang masa kecilnya."

Yuda tak pernah berpikir Tia menyimpan cinta yang tak disadari dirinya sendiri. Kali ini jelas Yuda tak akan melepaskan Tia. Dia sudah menyiapkan segalanya untuk mewujudkan mimpi Tia. Untuk menjadi seorang pengantin, berbalut gaun putih dengan rangkaian bunga baby breath kesukaannya.  Sudah dua minggu berlalu, Tia tak juga menunjukkan perkembangannya. Sudah dua minggu sejak Tia koma, Yuda tetap setia di samping Tia. Yuda sudah menyulap kamar Tia menjadi begitu indah, dengan bunga baby breath dimana-mana. Dia selalu bercerita dan berbicara dengan Tia, seolah-olah pemilik hatinya itu dalam kondisi wajar.

Yuda melihat-lihat indahnya hasil foto Tia. Sebentar, dia seolah-olah masuk ke alam masa lalu Tia. Seperti bisa menikmati kebersamaan dengannya pada setiap tempat yang pernah dia kunjungi. Kecintaan Tia pada alam lepas jelas terlihat. Jiwa penjelajahnya seperti selalu ingin bebas.

"Bangunlah, aku masih ingin membawamu ke satu tempat. Melihat matahari terbenam." Yuda berbisik lembut sambil membelai rambut Tia.

Yuda bisa melihat jelas ada butir air mata jatuh dari ujung mata Tia yang mulai terbuka lemah. Selemah apa pun Tia, matanya tetap bersinar. Mata yang sama yang belasan tahun membuat Yuda jatuh hati dan selalu gagal berpindah hati.

"Kemana?" Tanya Tia lirih. Sayup nyaris tak terdengar.

"Membaiklah dulu. Kelak, kau akan tau."

***

Aku tak pernah ingin mengantarmu ke sini. Tapi ternyata kali ini kau yang menentukan kemana kita harus berkencan. Baiklah. Walau pun aku rasa ini tak adil, setelah penantian panjangku. Tapi kau tau, aku bisa mendadak kehilangan egoku ketika berhadapan denganmu.

Yuda masih sibuk berbicara sendiri dengan nisan bertuliskan nama Tia. Pemandangan yang menyayat hati siapa pun yang melihatnya.

Kali ini, kau yang harus sabar menungguku di sana. Aku bahkan sudah menyiapkan liang disebelahmu, supaya kita bisa tetap berdampingan. Kau pikir aku masih akan mengalah memberikan jarak antara kita lagi?

Yuda bahkan tak juga ingin berteduh ketika hujan deras mulai turun. Ana dan Vera pun tak ingin memaksa Yuda untuk beranjak. Mereka paham betul hancurnya hati Yuda.

Jadi selama ini kau bertahan hanya demi menunggu pemberkatan pernikahan kita, ya. Kalau tau begitu, aku akan undur seribu tahun lagi supaya bisa tetap bersamamu. Tapi kau memang selalu sulit ditebak. Kau selalu menang dalam setiap pertandingan denganku. Terima kasih sudah menjadikanku suami yang paling bahagia, sayang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun