Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Persekutuan DPR dan Jokowi dalam Perkelahian Sains dengan Nilai-nilai

21 September 2019   18:24 Diperbarui: 21 September 2019   18:56 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : ekonomi.okezone.com

Hubungan ilmu pengetahuan (sains) dan nilai (value) seringkali jadi persoalan yang tak ada habisnya. Apalagi bila muncul masalah faktual didalam masyarakat, dan kemudian terjadi perdebatan "yang tak tentu arah" tentang "harus bagaimana" permasalahan faktual itu ditempatkan dan berikut solusinya.  

Seringkali tanpa disadari, perdebatan faktual itu menyangkut dua hal mendasar yakni sains dan nilai.

Sebagai contoh perdebatan dalam masyarakat dan berbagai lembaga publik soal revisi Undang-Undang KPK dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dilakukan pemerintahan Jokowi dengan DPR RI, yang dinilai berpotensi mengebiri KPK dan merusak komitmen bernegara dalam melindungi politik warga.  

Muncul lah perdebatan pro dan kontra serta aksi penolakan dalam masyarakat. Umumnya mereka dilandasi setting nilai yang mereka yakini, namun tak sedikit pula yang berdasarkan argumen logis atau kajian ilmu pengetahuan. Sementara di sisi lain, undang-undang dibuat DPR bersama pemerintah didasarkan kajian sains dengan metode ilmu pengetahuan yang baku sehingga menghasilkan "naskah akademik" undang-undang dan peraturan. Disinilah nilai dan sains bertemu dan berkelahi. Seru ya, beib! Heu heu heu....

sumber gambar : setkab.go.id
sumber gambar : setkab.go.id
Posisi Sains dan Nilai

Masalah ilmu pengetahuan (sains) dan nilai (value) menjadi perdebatan pada puncak paham logika obyetivisme modern. Ilmu pengetahuan dipandang sebagai dunia yang obyektif dengan metode logis yang inheren didalamnya. Sementara nilai (value) sering dianggap "tidak obyektif" dan bersifat "relatif". Benar kah demikian?

Ada dua perdebatan besar tentang hal tersebut, yakni : pertama, apakah 'nilai' (value) sebaiknya terdapat atau mampu diekspresikan berbarengan didalam ilmu pengetahuan modern? atau yang lainnya. Kedua, apakah 'nilai' (value) hanya sebatas ekspresi subyektif semata  dari suatu preferensi ?

Menurut pemikiran modern, 'nilai' dipandang berdasarkan dua hal, yakni berdasarkan 'categorical' dan 'instrumental'.

Pada konteks 'categorical' nilai-nilai mengacu pada dua hal yang berbeda secara ekstrim misalnya : baik-buruk, benar-salah, pantas-tidak pantas, setia-khianat, merdeka-terjajah dan lain sebagainya. Selain itu juga mengandung nilai-nilai hakiki (intrinsic values), misalnya ; kemerdekaan, kebebasan, kesenangan dan kebahagiaan. 

Nilai-nilai hakiki tersebut didasarkan pada releksi murni dari manusia, atau keputusan-keputusan pribadi, atau nilai-nilai yang didasarkan dari budaya tidak dapat diperdebatkan secara rasional :  baik-buruk, salah atau pun benar tentang  nilai-nilai tersebut.

Di dalam categorical yang ekstrim tadi, seperti : 'baik-buruk', atau benar-salah', setia-khianat, merdeka-terjajah, dan lain-lain terdapat 'nilai' kesenangan atau kenikmatan. 

Manusia mendapatkan kenikmatan didalam categorical itu. Namun didalam nilai-nilai yang hakiki, kita tidak dapat mempersalahkan manusia didalamnya, karena si manusia yang menjalaninya memiliki nilai-nilai itu sendiri yang sudah diyakininya.

Iklim demokrasi dalam tatanan suatu negara menjadi kunci tumbuh dan berkembangnya beragam nilai dalam masyarakatnya. Indonesia beruntung memiliki keduanya.

Konteks nilai-nilai 'instrumental' kemudian berupaya memperluas nilai-nilai 'caterogical' melalui ilmu pengetahuan (sains) sehingga bisa dipahami dan diterima secara logis dan universal. 

Dengan perluasan itu, manusia ditawarkan banyak alternatif pilihan, dan didalam alternatif tersebut terdapat satu pilihan yang dirasa cocok bagi si manusia berdasarkan konteks atau kondisi manusia tersebut saat itu.

Pada bagian lain, yakni konteks 'instrumental', selalu berupaya mengajak kita memahami adanya nilai-nilai lain, sebagai contoh : bila kebebasan adalah sebuah nilai-nilai 'hakiki', maka 'membentuk demokrasi dan penguatan masyarakat atau 'civil society' adalah salah satu 'instrumental'nya sebagai salah satu pilihan 'nilai'.

Masyarakat madani (civil society) merupakan masyarakat yang beradab, mandiri, bebas  dalam membangun, menjalani, dan memaknai kehidupannya sehingga terbentuk sistem sosial berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat.

Presiden Jokowi saat berpidato di gedung DPR RI, sumber gambar : kompas.com
Presiden Jokowi saat berpidato di gedung DPR RI, sumber gambar : kompas.com
Pilihan dan Dasar Pertimbangan

Dasar pilihan yang diambil bisa jadi karena pertimbangan efesiensi (ekonomi dan teknologi), persatuan dan kedamaian masyarakat (sosiologis), tradisi dan peradaban (budaya), (kepentingan masa depan, pembangunan dan masyarakat luas) politis, rasa keadilan masyarakat (psikologis),  dan lain sebagainya. Dan dasar pertimbangan itu secara ilmu pengetahuan (science) memuat dimensi logis (bisa dijelaskan), dan juga dimensi etis (mengandung nilai tertentu).

Namun bisa terjadi pertimbangan itu menjadi penilaian lain yang "bersifat irasional", atau "tidak rasional" atau "tidak selalu didasarkan akal sehat". Faktor kultural, sosiologis, dan psikologis mampu menjelaskan nilai-nilai namun seringkali tidak konsisten, berubah-ubah dan  tidak didasarkan pada pemikiran rasional yang mutlak karena seringkali persoalan nilai tersebut didasarkan pada aspek cita dan rasa serta kepentingan manusia secara individu atau kelompok. Itulah mengapa, pertimbangan sains modern yang sejatinya obyektif dan netral menjadi tidak obyektif dan irasional ketika menjelaskan nilai-nilai (values) karena adanya tendensi tertentu.

Kembali ke laptop. Terkait isu faktual tentang revisi UU KPK dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pemerintahan Jokowi dan DPR RI hanya punya satu cara  yakni dengan melalui sains yang menghasilkan naskah akademik. 

Dengan  harapan bisa menjelaskan kepada publik, bersifat netral dan obyektif dalam melihat perkembangan hukum, pembinaan narapidana dan kasus korupsi serta berbagai turunannya.

Namun demikian bukan berarti pemerintahan Jokowi dan DPR bisa bebas dari dugaan tendensi tertentu yang lebih menguntungkan kelompok elit tertentu yang berafiliasi dengan mereka. 

Cilakanya, masyarakat sekarang yang sudah terbangun civil society- nya dan  berada di alam demokrasi ternyata lebih berpegangan pada dugaan dan tendensi tersebut. Maka jadilah perdebatan dan pertentangan panjang. Kalau diruntut merupakan perang sains dengan nilai-nilai dalam masyarakat

Sains butuh pembuktian obyektifitas nya dengan cara penerapan secara konsisten. Demikian juga sains (naskah akademik) undang-undang yang dibuat pemerintah dan DPR juga perlu pembuktian dari dugaan dan tendensi yang tumbuh subur di dalam masyarakat.

Disisi lain masarakat dituntut sabar menanti penerapan dan obyektifitas undang-undang tersebut. Kalau masyarakat tidak sabar dan bikin ricuh dengan DPR RI dan pemerintah justru membuat obyektifitas semakin menjauh.

Andai kelak penerapan naskah akademik (undang-undang) ternyata terbukti bertendensi merugikan masyarakat,  tentu ada mekanisme hukum dan tata negara yang melibatkan sains terbaru untuk menggantikannya. Ya, aku sih rapopo...

----

Peb21/09/2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun