Manusia mendapatkan kenikmatan didalam categorical itu. Namun didalam nilai-nilai yang hakiki, kita tidak dapat mempersalahkan manusia didalamnya, karena si manusia yang menjalaninya memiliki nilai-nilai itu sendiri yang sudah diyakininya.
Iklim demokrasi dalam tatanan suatu negara menjadi kunci tumbuh dan berkembangnya beragam nilai dalam masyarakatnya. Indonesia beruntung memiliki keduanya.
Konteks nilai-nilai 'instrumental' kemudian berupaya memperluas nilai-nilai 'caterogical' melalui ilmu pengetahuan (sains) sehingga bisa dipahami dan diterima secara logis dan universal.Â
Dengan perluasan itu, manusia ditawarkan banyak alternatif pilihan, dan didalam alternatif tersebut terdapat satu pilihan yang dirasa cocok bagi si manusia berdasarkan konteks atau kondisi manusia tersebut saat itu.
Pada bagian lain, yakni konteks 'instrumental', selalu berupaya mengajak kita memahami adanya nilai-nilai lain, sebagai contoh : bila kebebasan adalah sebuah nilai-nilai 'hakiki', maka 'membentuk demokrasi dan penguatan masyarakat atau 'civil society' adalah salah satu 'instrumental'nya sebagai salah satu pilihan 'nilai'.
Masyarakat madani (civil society) merupakan masyarakat yang beradab, mandiri, bebas  dalam membangun, menjalani, dan memaknai kehidupannya sehingga terbentuk sistem sosial berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat.
Dasar pilihan yang diambil bisa jadi karena pertimbangan efesiensi (ekonomi dan teknologi), persatuan dan kedamaian masyarakat (sosiologis), tradisi dan peradaban (budaya), (kepentingan masa depan, pembangunan dan masyarakat luas) politis, rasa keadilan masyarakat (psikologis), Â dan lain sebagainya. Dan dasar pertimbangan itu secara ilmu pengetahuan (science) memuat dimensi logis (bisa dijelaskan), dan juga dimensi etis (mengandung nilai tertentu).
Namun bisa terjadi pertimbangan itu menjadi penilaian lain yang "bersifat irasional", atau "tidak rasional" atau "tidak selalu didasarkan akal sehat". Faktor kultural, sosiologis, dan psikologis mampu menjelaskan nilai-nilai namun seringkali tidak konsisten, berubah-ubah dan  tidak didasarkan pada pemikiran rasional yang mutlak karena seringkali persoalan nilai tersebut didasarkan pada aspek cita dan rasa serta kepentingan manusia secara individu atau kelompok. Itulah mengapa, pertimbangan sains modern yang sejatinya obyektif dan netral menjadi tidak obyektif dan irasional ketika menjelaskan nilai-nilai (values) karena adanya tendensi tertentu.
Kembali ke laptop. Terkait isu faktual tentang revisi UU KPK dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pemerintahan Jokowi dan DPR RI hanya punya satu cara  yakni dengan melalui sains yang menghasilkan naskah akademik.Â
Dengan  harapan bisa menjelaskan kepada publik, bersifat netral dan obyektif dalam melihat perkembangan hukum, pembinaan narapidana dan kasus korupsi serta berbagai turunannya.