Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Orang Hebat di Toilet

22 Januari 2017   15:22 Diperbarui: 22 Januari 2017   16:53 1415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sumber gambar ; http://4.bp.blogspot.com/-HAbsGj_s8Zg/VV1vjZxcBPI/AAAAAAAAARI/Sijd_GPuH30/s1600/ilustrasi%2Btisu.jpg"][/caption]

"Selamat siang, pak. Silahkan, pak.."
"Selamat siang. Terimakasih"
Hanya sepintas kulihat sosok si penyapa itu tersenyum tanpa terlalu perduli siapa dia. Dengan sedikit terburu kusimpan tas koper di dekat pintu kemudian masuk ke bilik di toilet besar itu. Masih kudengar suara orang itu "Saya akan jaga tas Bapak." 

Nongkrong di bilik bersih ukuran 2x1 m itu adalah surga bagiku. Di situlah tempat dan waktu paling nyaman untuk berpikir, menemukan ide besar, dan mendapatkan pengetahuan-informasi. Seringkali tulisan fiksi atau non fiksi bisa kucipta di ruang seperti itu. Dengan buku atau smartphone ditangan maka saat itu dunia dalam genggamanku.

Semua itu telah jadi ritual 'resmi' yang membuat aku merasakan nikmat kehidupan jaman.

Kali ini aku akan memulai ritual itu lagi.
Waktu berjalan, tapi entah kenapa sulit konsentrasi meraih dunia dalam genggaman. Aku seperti kehilangan surga. Yang terlintas adalah sosok penyapa tadi. Siapa dia? Aku seperti mengenalnya, tapi dimana? Wajahnya pun tak terlalu kuingat.

Ah, tak mungkin aku mengenalnya. Kupikir justru dia yang kenal aku. Siapa yang tak kenal aku? Wajahku sering muncul di televisi, koran, dan ragam media lainnya. Celoteh dan ulasanku tentang situasi sosial-politk negeri ini sering jadi rujukan dan membuat publik terpaku. Gelar panjang didepan dan belakang nama jadi nilai jualku yang tak bisa ditawar. Ah, dia pasti seperti orang-orang yang sering menyapaku di bandara, hotel, kampus, gedung pertemuan, mall dan jalanan.

Baiklah, sosok penyapa itu sudah ada dalam hipotesa, sedikit analisis dan kesimpulan. Bagiku jawaban sudah kudapatkan. Jadi sekarang waktunya untuk memurnikan ritual. Menjadikan dunia dalam genggaman.

Entah kenapa kembali otakku bekerja keras. Pikiranku kembali mencari kejelasan dari gambaran samar si penyapa itu. Ini memang gila! Siapa sih dia? Cuma cleaning servive, berseragam khas, tangannya tak lepas memegang tongkat pengepel lantai, kain lap dan semprotan pewangi. Apa lagi?

Saudaraku kah dia? Tidak mungkin! Aku tak punya saudara seorang cleaning service di Bandara. Sudah ratusan kali aku ke bandara ini. Sudah ratusan kota dalam dan luar negeri kudatangi lewat bandara internasional ini.

Kalau ada saudara jauh sekalipun pasti ada informasi dari keluarga besarku. Dan aku pasti pegang nomor hapenya. Akan kutemui dia, sesekali kuberi amplop hasil honor seminar.

Bagiku, honor seminar-apalagi yang diselenggarakan senat atau himpunan mahasiswa tidaklah seberapa. Aku maklum sekaligus salut. Hal yang pernah aku alami dulu saat kuliah. Tidak mudah dapatkan dana-sponsor seminar, namun idealisme mereka tidak pernah surut mengumpulkan para cendikia untuk berbagi pemikiran di ruang seminar. Uang honor dari mahasiswa sering kutolak. Kukembalikan lagi setelah menandatangi bukti penerimaan. Aku hanya butuh sertifikat atau surat keterangan sebagai pembicara. Aku hanya butuh tukang antar ke bandara karena dalam 1 hari tak jarang harus terbang ke tiga kota berbeda sebagai pembicara kegiatan sejenis. Menjadi 'sinterklas' bagi para mahasiswa itu merupakan kepuasan tersendiri. Aku bisa dekat dengan mereka dan bisa adu kekuatan dan jungkir balik pada satu panggung seminar bersama para pakar lain yang 'berbeda padepokan, jurus silat, mashab teori dan lainnya'. Kalau untuk cari uang besar aku sudah cukup sebagai konsultan tetap bagi para politikus, pejabat, dan beberapa perusahaan besar nasional dan mutinasional.

Tiba-tiba muncul lagi secara samar sosok si penyapa tadi. Di dalam benakku masih ada pertanyaan yang sama. Ah, siapa dia?

Segera kuselesaikan hajatan. Toh ruang kecil ini tak memberiku surga seperti biasanya. Setelah bersih-bersih aku pun keluar bilik.

Begitu keluar pintu kaca bilik kulihat sepintas si Penyapa. Belum sempat kuperhatikan wajahnya secara seksama. Dia segera bergegas ke arahku dengan peralatannya kemudian masuk ke bilik. Sementara aku ke meja wastafel untuk cuci tangan. Dari kaca besar kulirik aktivitasnya. Dia bekerja cekatan, dan sudah hapal setiap bagian ruang kecil itu.

Aku harus melakukan 'wasting time' di ruang toilet besar ini. Si Penyapa itu akan ku "delay' dulu. Aah, tapi apakah dia merasa sedang bertanding denganku? Atau aku saja yang sedang berperang dengan diriku sendiri menghadapi sosok seorang cleaning sevice. Bah!

Tak lama tugasnya selesai dibilik tempatku berhajat tadi. Melihat kecekatanya, kupastikan bilik itu jadi bersih, harum dan kering. Dia kembali ke posisi semula, berdiri di pojok ruang besar dengan tongkat pengepel di tangan sembari memperhatikan setiap orang yang datang. Sesekali dia bergegas ke sudut ruang lain membersihkan lantai. Kemudian kembali ke posisi awal. Sudut ruang itu seperti telah jadi pos tetapnya.

Sementara aku berganti baju, dari jas lengkap--habis dari seminar tadi--dengan kaos kasual. Aku ingin rileks di bandara ini, toh pesawatku delay 1 jam.

Saat pengunjung sudah agak sepi, kubuka pembicaraan sembari mengelap wajah dengan sapu tangan.
"Sudah berkeluarga?"
"Sudah, pak. Anak saya 3 orang".
"Kamu tinggal dimana?"
"Oh, di perkampungan dekat Bandara ini. Cuma limabelas menit naik motor."
"Sering nonton tv, nggak?"
"Heheheh, ya seringlah pak. Saya paling suka nonton bola, acara lawak, musik, filem dan tentang petualangan alam Indonesia. Kadang-kadang juga nonton berita."
"Kalau nonton acara dialog, sering ndak?"
"Hampir ndak pernah, males pak. Cuma dengar orang ngomong doang. Siapapun bisa. Para ahli itu makin banyak omong, makin bikin bingung dan pusing rakyat kayak saya. Aah, pak....biarlah...urusan negara sudah ada yang urus. Gak usah direcokin dengan banyak teori. Saya mah kerja aja baik-baik....pulang kerja ketemu anak-istri, dan menikmati hiburan murah di tivi. Itu udah bikin hidup senang dan tenang, pak..."
"Sudah lama kamu kerja di sini?"
"Lumayanlah pak, sudah 9 tahun."
"Wah, sudah lama juga ya. Kok tidak berusaha cari kerja lain?"
"Dulu, awal-awal sudah pernah coba, pak...tapi akhirnya saya betah disini. Boss saya baik. Dan mulai bulan depan naik gaji. Asal kerja bagus sebenarnya sudah enak kok, pak."
"Ooh, kamu ndak malu sama anak-anakmu? Mereka tahu bapaknya kerja bersih-bersih WC?"
"Awalnya sih malu, pak...hehehe! Tapi lama-lama ngapain malu? Di Toilet, orang kaya dan orang miskin tabiatnya sama aja, kok pak. WC sudahlah dibikin modern dan nyaman begini tapi tetap aja...maaf pak...semua sering berlaku jorok. Air sering berceceran, tisu bekas berserakan kalau siram tidak tuntas, merokok di WC, dan bayak lagi. Tabiat mereka sama aja, kok pak...jadi untuk apa saya malu, lhaa orang-orang hebat itu sama aja tabiatny dengan orang biasa kalau sudah di Toilet. Makanya pak, pekerjaan seperti saya tetap dibutuhkan. Coba kalau gak ada, toilet bagus macam manapun akhirnya jadi tak beda dengan kakus di kampung aja. Heheheh!"

"Hahahah! "

Aku ikut tertawa mendengar celotehnya. Namun entah kenapa ada sesuatu menusuk di hati. Otak saya seperti dijungkirbalikkan.

"Maaf, apakah kamu mengenal saya?"
"Lho, kita pernah ketemu tiga kali waktu saya giliran bertugas di toilet Terminal 3 kelas eksekutif. Bapak kan yang dulu ketinggalan jam tangan habis bersih-bersih . Trus, pernah juga tiket boarding bapak jatuh waktu meninggalkan toilet. Dan pernah juga ketinggalan hp dan rokok di bilik toilet."
"Oh, ya...ya..saya ingat. Kadang saya pakai pesawat kelas eksekutif, kadang ekonomi kalau bepergian. Makasih ya, kalau tidak anda kembalikan saya malah lupa dan kehilangan barang-barang saya itu."
"Iya, pak...sudah jadi bagian tugas saya menjaga barang pengunjung di sini."

Entah kenapa tiba-tiba aku ingin "wasting time" ini diakhiri. Aku tak mau men"delay' dia lagi. Aku mendadak kehilangan kata-kata.

Aku berharap saat di ruang tunggu nanti tak lagi memikirkan si Penyapa itu. Memikirkan urusan negara lebih penting.

------

Peb--Terminal 1A Bandara SoekarnoHatta 20/01/2017

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun