Indonesia Butuh Negara yang Dipercaya, Bukan Negara yang Mencurigakan
Nathan Gardels, Pemred Noema belum lama ini berbincang dengan Francis Fukuyama di Universitas Stanford untuk seri podcast "Paradigm Shift" yang akan diselenggarakan oleh Berggruen Institute. Fukuyama adalah penulis terkenal buku-buku seperti "The End Of History And The Last Man," "The Origins Of Political Order" dan "Liberalism And Its Discontents."
Fukuyama pernah mengatakan beberapa waktu lalu bahwa demokrasi tidak dapat bertahan hidup tanpa adanya kepercayaan terhadap kemungkinan adanya lembaga yang tidak memihak. Saat ini di AS, tingkat kepercayaan itu hampir nol dan semakin memburuk setiap hari dengan terus-menerusnya penghinaan terhadap pengadilan sebagaimana halnya di Indonesia.
Posisi demokrasi saat ini
Bila memakai kerangka Fukuyama, demokrasi belum berakhir, tetapi dalam kondisi penurunan kualitas dan legitimasi.
Populisme otoriter yang memanfaatkan narasi "institusi curang" dan "musuh dalam negeri" telah menjadi arus utama di berbagai negara.
Solusi Fukuyama adalah memperkuat institusi netral dan menghidupkan kembali nilai-nilai liberal klasik seperti kebebasan sipil, toleransi, dan rasionalitas publik.
Fukuyama dalam "Liberalism and Its Discontents" juga memperingatkan tanpa ada reformasi mendalam, demokrasi akan makin tampak sebagai sistem yang tidak mampu menyelesaikan masalah nyata rakyat - dan itu adalah pintu masuk bagi sistem otoriter yang menjanjikan kecepatan dan kepastian.
Dalam buku "The Origins of Political Order" Fukuyama berbicara tentang China sebagai negara modern pertama karena mengembangkan birokrasi administratif - yang berkembang menjadi apa yang disebut mandarinat di mana orang-orang terbaik dan tercerdas harus lulus ujian ketat yang diselenggarakan oleh negara. Hal ini mengarah pada apa yang disebut sebagian orang sebagai "peradaban institusional" China, yang menjadikannya negara adidaya selama berabad-abad.
Dalam The Origins of Political Order, Fukuyama menunjukkan China adalah negara modern pertama, bukan dalam arti demokrasi atau hak asasi, tetapi dalam kemampuan membangun institusi pemerintahan yang kuat, terpusat, dan rasional. Sistem ujian birokrasi di masa Dinasti Han dan Tang memungkinkan negara untuk mengelola wilayah luas dan populasi besar secara efektif - dengan prinsip meritokrasi. Itu sebabnya China disebut memiliki "peradaban institusional."
Dalam trilogi bukunya (termasuk Political Order and Political Decay), Fukuyama mengatakan kemajuan masyarakat tidak hanya bergantung pada demokrasi atau kapitalisme, tetapi pada tiga pilar utama, yaitu negara yang kuat dan efisien (effective state), adanya supremasi hukum (rule of law) dan akuntabilitas demokratis (democratic accountability)
Tanpa yang pertama, dua lainnya bisa jadi simbolik saja. Negara yang terlalu lemah bisa disandera oleh oligarki, populis, atau kekuatan informal lainnya.
Mengapa kita tetap butuh aparat pemerintahan
Pasar tidak mengatur dirinya sendiri secara adil. Diperlukan regulasi, pengawasan, dan redistribusi yang efektif; keadilan tidak muncul dari kehendak baik, tetapi dari lembaga penegak hukum; ketahanan terhadap krisis (pandemi, perubahan iklim, siber, dll.) memerlukan kapasitas negara, bukan sekadar pasar atau LSM.
Fukuyama juga menegaskan kepercayaan publik terhadap negara bisa tumbuh kalau negara tersebut kompeten dan tidak korup. China klasik memberikan contoh ekstrem dari negara tanpa demokrasi, tapi dengan birokrasi yang fungsional. Indonesia modern misalnya demokrasi terlihat kuat, tapi kapasitas negara seringkali lemah atau dipolitisasi.
Sangatlah sederhana (dan keliru) jika kita berpikir bahwa masyarakat modern tidak butuh negara. Bahkan negara yang demokratis dan kaya pun tetap memerlukan kapasitas institusional. Tanpa itu, yang terjadi adalah stagnasi, disfungsi, dan ketidakpercayaan publik seperti yang kita lihat saat ini.
Jika kita ingin memiliki Departemen Efisiensi Pemerintah, hal pertama yang harus dilakukan bukanlah memecat birokrat. Kita harus membebaskan mereka dari semua peraturan yang bertele-tele karena sebagian besar birokrat, dalam situasi saat ini, lebih peduli untuk mematuhi peraturan terinci daripada benar-benar menyelesaikan masalah yang dihadapi konstituen mereka.
Akhir-akhir ini, kita mendengar cukup banyak kalangan jetset mengatakan ada banyak birokrat di luar sana yang mengatur hidup kita, tanpa kendali demokratis. Itu omong kosong belaka. Sebaliknya, mereka terlalu dibatasi oleh semua aturan ini.
Yang benar-benar perlu dilakukan adalah memberi mereka wewenang untuk benar-benar membuat keputusan dalam mandat yang ditetapkan secara demokratis oleh parlemen dan oleh perwakilan terpilih. Masalahnya adalah publik tidak memahami bahwa ketidaksukaan dan ketidakpercayaan mereka terhadap pemerintah seperti negara-negara di Skandinavia, Jepang, atau Korea Selatan, dengan tradisi negara yang lebih lama, menyediakan layanan pemerintah yang lebih baik, karena mereka tidak secara otomatis tidak mempercayai apa pun yang dilakukan seorang birokrat.
Ini adalah salah satu pemikiran paling penting dan mendalam dari Francis Fukuyama dalam dua dekade terakhir. Secara garis besar, ini menyentuh inti dari ketegangan antara "aturan hukum" (rule by law) dan "pemerintahan yang rasional dan efektif" (rule by discretion). Dan Fukuyama menyampaikan satu paradoks besar: Semakin kita tidak mempercayai pemerintah, semakin kita memperburuk kinerjanya dengan membelenggunya melalui aturan-aturan yang membunuh akal sehat.
Ketidakpercayaan publik melahirkan negara yang disfungsional
"Kita tidak suka pemerintah, jadi kita tidak mempercayainya. Karena kita tidak mempercayainya, kita mengikat tangan birokrat kita. Karena mereka terikat, mereka tidak bisa melayani dengan baik. Karena pelayanannya buruk, kita jadi semakin tidak suka pemerintah." Itu lingkaran setan kelembagaan. Fukuyama menyebut ini sebagai "self-fulfilling prophecy of distrust." Di AS, ini terjadi sejak gerakan anti-birokrasi pasca-Reaganomics, di mana pemerintah dijadikan kambing hitam bagi segala ketidakefisienan - padahal solusi yang diambil adalah menambahkan kontrol dan prosedur, bukan memperbaiki kapasitas birokrasi.
Pemerintahan berbasis aturan vs pemerintahan berbasis kepercayaan dan kapasitas
AS, dan juga Indonesia, mencoba mengelola birokrasi seperti mengelola perusahaan yang paranoid terhadap fraud. Hasilnya segalanya perlu tender, padahal nilainya kadang hanya puluhan juta rupiah; birokrat takut bertindak tanpa perlindungan aturan tertulis; proyek-proyek strategis tersandera oleh administrasi, bukan oleh niat buruk.
Bandingkan dengan Skandinavia atau Jepang, yang memberikan discretion kepada birokrat berdasarkan norma profesionalisme dan kebanggaan etis dalam pelayanan publik. Negara-negara ini tidak lebih korup, justru lebih efektif - karena percaya kepada kompetensi aparatnya sendiri.
Apa yang diusulkan Fukuyama
Ini yang penting: bukan deregulasi liar, bukan pula lebih banyak kontrol. Tapi reformasi kelembagaan yang memberi wewenang kepada birokrasi yang sudah profesional.
Langkah-langkahnya antara lain memperbaiki rekrutmen dan pelatihan birokrat, seperti sistem mandarinat China dulu atau ENA di Perancis; memangkas regulasi mikro, dan menggantinya dengan kerangka kerja etika dan akuntabilitas makro; memberikan ruang bagi penilaian profesional, sambil tetap mengikatnya dalam kerangka mandat demokratis.
Di sinilah peran penting dari "trust-based governance". Tanpa kepercayaan publik, birokrasi hanya akan tumbuh sebagai monster kaku penuh prosedur, bukan mesin pelayanan yang dinamis dan solutif.
Bagaimana relevansinya di Indonesia
Relevansinya sangat besar. Indonesia juga menderita akibat "peraturanisme birokratik" - UU Keuangan Negara, LKPP, BPK, APIP, semua dengan niat baik, tapi terkadang mengunci kreativitas pejabat yang sebenarnya ingin bekerja cepat dan benar.
Seperti yang dikatakan Fukuyama, kita tidak bisa bicara tentang efisiensi birokrasi kalau kita terus memperlakukan birokrat sebagai tertuduh default.
Kembali ke esensi Fukuyama
Fukuyama menulis "Negara yang kuat bukan berarti negara yang menindas, tapi negara yang mampu bertindak. Dan untuk itu, ia butuh kepercayaan."
Jadi, cara untuk mencapai efisiensi adalah dengan memberdayakan birokrat, bukan melemahkan mereka.
Cara paling waras dan berorientasi solusi untuk mencapai efisiensi bukanlah dengan melemahkan birokrat - melainkan dengan memberdayakan mereka. Itu inti dari argumen Fukuyama yang sering disalahpahami oleh politisi populis maupun reformis yang terlalu administratif.
Efisiensi = Kapasitas + Kepercayaan
"Efisiensi pemerintahan bukan hanya soal cepat, tapi soal benar dan tepat guna. Itu hanya mungkin kalau orang yang menjalankan tugasnya punya wewenang, kapasitas, dan kepercayaan."
Kalau birokrat tidak dipercaya, maka mereka tidak berani ambil keputusan, semuanya menunggu izin atau aturan rinci; mereka hanya bekerja untuk 'compliance', bukan untuk hasil nyata; mereka jadi tidak inovatif, karena takut disalahkan jika keluar dari jalur formalistik.
Reformasi yang dibutuhkan bukan 'pemangkasan', tapi 'perbaikan kelembagaan'
Bukan soal memperkecil birokrasi, tapi bagaimana kita merekrut orang-orang terbaik ke dalam birokrasi (seperti model mandarin China atau civil service UK); mendidik mereka untuk berpikir strategis dan bertanggungjawab; membuat sistem akuntabilitas yang sehat dan berbasis performance, bukan sekadar kepatuhan prosedural. Fukuyama menyebut ini sebagai pergeseran dari "patrimonial state" ke "impersonal state"
Di negara-negara yang masih patrimonial (termasuk banyak wilayah di Indonesia), birokrasi itu seperti "perpanjangan tangan" elite atau pejabat politik. Padahal dalam impersonal state, birokrasi harus netral, profesional, dan punya kapasitas untuk bertindak atas nama kepentingan publik, bukan untuk menyenangkan atasan.
Bukti empiris
Negara-negara yang punya tingkat efisiensi tinggi dalam pelayanan publik hampir semuanya punya sistem birokrasi yang kuat dan professional. Bukan yang 'dibatasi', tapi justru diberi kepercayaan dan ruang gerak; menyediakan pelatihan berkelanjutan, serta reward and accountability yang jelas. Lihat Jepang, Korea Selatan, Singapura, Norwegia, Finlandia.
Maka, solusinya bukan "kurangi birokrat", tapi percayakan mandat yang jelas; bebaskan dari beban regulasi berlebihan; bekali dengan kompetensi dan etika; bangun budaya layanan, bukan budaya takut
Dalam konteks Indonesia sekarang, gagasan Fukuyama tentang pentingnya negara yang kuat dan dipercaya menjadi sangat relevan - terutama ketika kita melihat kasus seperti pembentukan Danantara yang memunculkan kebingungan bahkan kecurigaan publik.
Indonesia sedang berada dalam kondisi yang mirip dengan apa yang dikhawatirkan Fukuyama: Ketidakpercayaan terhadap institusi publik makin besar, apalagi sejak Pemilu 2024 dengan tuduhan cawe-cawe kekuasaan, politik dinasti, dan intervensi hukum.
Pemerintah ingin tampil sebagai motor modernisasi (IKN, hilirisasi, AI, ekonomi digital), tetapi tidak menjelaskan dengan cukup transparan atau akuntabel siapa yang memimpin, untuk siapa proyek itu, dan bagaimana kontrolnya.
Contoh konkret Danantara. Â Apa itu Danantara dan kenapa publik bingung
Danantara adalah superholding milik negara yang menyatukan semua asset aktif maupun asset pasif negara.
Sayangnya belum ada transparansi siapa yang menjalankan atau mengawasi; penjelasan teknis sangat minim, sementara istilah yang digunakan bersifat buzzword-heavy.
Publik tidak tahu, apakah ini hanya proyek branding, proyek elit, atau benar-benar alat layanan publik?
Akhirnya publik menganggap ini sebagai bagian dari "negara teknologi tanpa legitimasi publik", semacam lembaga yang dibentuk untuk memberi kesan modern, tapi tidak berakar pada kebutuhan atau kontrol rakyat.
Kaitan langsung dengan teori Fukuyama
Fukuyama mengatakan negara harus punya legitimasi (kepercayaan rakyat). Tanpa kepercayaan, negara hanya terlihat seperti alat elite untuk menjalankan proyeknya sendiri.
Fukuyama : Negara yang efektif = institusi yang profesional dan transparan.
Jika Danantara dijalankan secara tertutup atau elitis, maka rakyat tidak akan percaya, bahkan jikapun teknologinya bagus.
Fukuyama : Harus ada mandat demokratis yang jelas.
Di mana ruang dialog publik mengenai Danantara? Siapa yang mewakili masyarakat sipil atau akademisi independen dalam pengawasan proyek ini?
Apa yang harus dilakukan agar Danantara tidak menjadi simbol ketidakpercayaan?
Jika kita ingin Danantara menjadi bukti kemajuan, bukan alat kecurigaan, maka jelaskan mandat dan roadmap secara terbuka.
Untuk siapa Danantara dibuat? Untuk industri? Untuk rakyat? Untuk pengawasan? Jelaskan rinciannya.
Libatkan publik dan komunitas teknolog dalam pengawasan.
Seperti model open governance Estonia, atau AI ethics boards di Eropa.
Pastikan akuntabilitas lembaga.
Jangan jadikan Danantara semata-mata proyek elite yang tidak bisa diaudit publik.
Hindari jargon, tampilkan data dan hasil nyata.
Jangan hanya berbicara "AI beretika" tanpa contoh implementasi, riset terbuka, atau kebijakan yang bisa diakses.
Indonesia butuh negara yang dipercaya, bukan negara yang mencurigakan
Fukuyama benar, kita tidak bisa membangun negara yang kuat kalau rakyat selalu merasa dibohongi atau tidak dilibatkan. Danantara bisa menjadi simbol kepercayaan baru - kalau dijalankan dengan prinsip keterbukaan, transparansi, dan akuntabilitas publik.
Kalau tidak, ia akan menjadi satu lagi nama dalam daftar panjang lembaga-lembaga eksperimental yang dilupakan karena gagal membangun kepercayaan.
Lihat :
https://www.noemamag.com/to-make-government-efficient-empower-the-bureaucracy/
Joyogrand, Malang, Fri', Apr' 04, 2025.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI