Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Indonesia Butuh Negara yang Dipercaya, Bukan Negara yang Mencurigakan

4 April 2025   21:36 Diperbarui: 4 April 2025   21:36 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Birokrat Pelaksana kita. (Sumber : rmoljabar.id).

"Kita tidak suka pemerintah, jadi kita tidak mempercayainya. Karena kita tidak mempercayainya, kita mengikat tangan birokrat kita. Karena mereka terikat, mereka tidak bisa melayani dengan baik. Karena pelayanannya buruk, kita jadi semakin tidak suka pemerintah." Itu lingkaran setan kelembagaan. Fukuyama menyebut ini sebagai "self-fulfilling prophecy of distrust." Di AS, ini terjadi sejak gerakan anti-birokrasi pasca-Reaganomics, di mana pemerintah dijadikan kambing hitam bagi segala ketidakefisienan - padahal solusi yang diambil adalah menambahkan kontrol dan prosedur, bukan memperbaiki kapasitas birokrasi.

Pemerintahan berbasis aturan vs pemerintahan berbasis kepercayaan dan kapasitas

AS, dan juga Indonesia, mencoba mengelola birokrasi seperti mengelola perusahaan yang paranoid terhadap fraud. Hasilnya segalanya perlu tender, padahal nilainya kadang hanya puluhan juta rupiah; birokrat takut bertindak tanpa perlindungan aturan tertulis; proyek-proyek strategis tersandera oleh administrasi, bukan oleh niat buruk.

Bandingkan dengan Skandinavia atau Jepang, yang memberikan discretion kepada birokrat berdasarkan norma profesionalisme dan kebanggaan etis dalam pelayanan publik. Negara-negara ini tidak lebih korup, justru lebih efektif - karena percaya kepada kompetensi aparatnya sendiri.

Apa yang diusulkan Fukuyama

Ini yang penting: bukan deregulasi liar, bukan pula lebih banyak kontrol. Tapi reformasi kelembagaan yang memberi wewenang kepada birokrasi yang sudah profesional.

Langkah-langkahnya antara lain memperbaiki rekrutmen dan pelatihan birokrat, seperti sistem mandarinat China dulu atau ENA di Perancis; memangkas regulasi mikro, dan menggantinya dengan kerangka kerja etika dan akuntabilitas makro; memberikan ruang bagi penilaian profesional, sambil tetap mengikatnya dalam kerangka mandat demokratis.

Di sinilah peran penting dari "trust-based governance". Tanpa kepercayaan publik, birokrasi hanya akan tumbuh sebagai monster kaku penuh prosedur, bukan mesin pelayanan yang dinamis dan solutif.

Bagaimana relevansinya di Indonesia

Relevansinya sangat besar. Indonesia juga menderita akibat "peraturanisme birokratik" - UU Keuangan Negara, LKPP, BPK, APIP, semua dengan niat baik, tapi terkadang mengunci kreativitas pejabat yang sebenarnya ingin bekerja cepat dan benar.

Seperti yang dikatakan Fukuyama, kita tidak bisa bicara tentang efisiensi birokrasi kalau kita terus memperlakukan birokrat sebagai tertuduh default.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun