Mohon tunggu...
Pandu Adithama Wisnuputra
Pandu Adithama Wisnuputra Mohon Tunggu... Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Padjajaran

Seorang penyuka sejarah, bahasa dan sastra.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Stof en Rook (Bab V: Geallieerden en Vijanden)

26 Maret 2025   19:49 Diperbarui: 26 Maret 2025   22:08 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Algemeen Hoofdkwartier. 's-Gravenhage, Zuid-Holland.

Suara dering telepon mengisi seluruh ruangan berwarna cokelat muda, berisi dengan satu meja besar, sebuah rak buku, sofa kulit dan beberapa kursi. Seorang pria muda mengambil gagang telepon dan menaruhnya di telinganya. Ia mengangguk dan menatap seseorang yang duduk di sebelahnya. "Mevrouw. Bericht uit Rotterdam" ("Nyonya, pesan dari Rotterdam"). Ia menyerahkan gagang teleponnya kepada seorang wanita berpakaian militer, yang dilihat dari atribut yang ia pakai, merupakan seorang Letnan-Jenderal. Ia memiliki rambut hitam kecoklatan yang diikat ke belakang, tetapi terbelah menjadi tiga cabang. Poni rambutnya terbelah di tengah dan bagian kanan dan kirinya dibiarkan menjuntai panjang hingga mengenai pundaknya.

"Ja, hallo? Met mezelf. Hoe zit het met de V.C? Allemaal dood, zie ik." ("Ya, hallo? Aku sendiri. Bagaimana V.C? Mati semua, aku paham") Suaranya terdengar kasar, tetapi masih bernada feminin. "Huh? Wat bedoel je met niet allemaal?! Dan is dat jouw probleem! Dit is een klein land, als je hem niet kunt vinden, ben je echt een idioot." ("Apa maksudmu tidak semuanya!? Ini negara kecil, kalau kau tidak bisa menemukannya, kau benar-benar tolol!") Ia menaruh gagang teleponnya kembali dan menepuk dahinya. " Is het echt zo slecht, mevrouw?" ("Apakah seburuk itu, nyonya?") Asistennya bertanya sambil mengeluarkan sebuah buku catatan dan pena. "Waar was je al die tijd, Dirk? Deze jongens waren misschien een stelletje studenten, maar een heel klein deel van hen heeft toegang tot wapens en grotere connecties. ("Kamu kemana saja selama ini, Dirk? Mereka ini mungkin mayoritas adalah mahasiswa, tapi ada sedikit dari mereka memiliki akses ke senjata dan koneksi yang lebih besar.") Dirk mencatat segala yang ia bisa. Menjadi sekretaris militer bukan hal mudah, tetapi ia sudah terbiasa. "Zo zouden ze wraak kunnen nemen? Hoe komen ze aan wapens als alle vuurwapenbezit verboden is, behalve voor het leger, de strijdkrachten en de geheime politie?" ("Jadi begitu cara mereka dapat melawan? Tapi bagaimana mereka bisa memiliki senjata jika semua senjata api dilarang dimiliki kecuali militer, polisi militer dan polisi rahasia?") Ia tidak langsung menjawab, tetapi berdiri menghadap jendela, melihat pemandangan jalanan bersalju 's-Gravenhage. "Officieel wel, ja. Ik vertel het je later. Zeg Ter Veld dat ik moet gaan. Over de V.C., het is nu zijn probleem." ("Secara resmi, iya. Akan kuberi tahu kau nanti. Soal V.C, itu urusannya sekarang.") Dirk mengangguk dan langsung menelpon lantai bawah untuk menyiapkan mobil. Perempuan tersebut meraih coat hijau muda miliknya dan segera keluar ruangan.

......

Vaals, Limburg

Ia menawarkanku secangkir teh, dan aku menerimanya selagi masih merasa kesal.

"Aku harus bertanya kepadamu, Anna, sebelum lebih jauh. Apa yang terjadi di Rotterdam? Kenapa tidak ada yang lain bersamamu, Lukas Braam, Bernard Pieterzoon, Marlene Vroom?" tanyanya dengan nada khawatir, sambil meminum tehnya.

Hatiku rasanya nyaris tersumbat, air mataku mulai keluar. "Di- dia..." lenganku langsung menutup muka. Mark langsung berdiri dan terlihat panik. "Iya? Kenapa mereka? Apakah mereka baik-baik saja?" Masih menangis, aku keluarkan surat yang diberikan Marlene sebelum ia meninggal. Ia mengambilnya dan membuka amplopnya. Ia membaca surat tersebut dengan teliti dan langsung mendesah. "Gawat... Meijer sudah menghabisi banyak anggota penting. Kini para pemimpin hanya tinggal berapa orang..." Ia melepas kacamatanya dan menyingkirkan air mata dari pipinya. Aku terheran selagi membuka mataku. "Para pemimpin?"

Mark mendesah lagi dan meminum tehnya. "V.C bukanlah organisasi kecil, ia memiliki pemimpin kelompok di tiap-tiap kota yang memiliki pengaruh V.C yang cukup kuat. Dua orang yang tewas di Rotterdam, Braam dan Pieterzoon, adalah pemimpin kelompok dari Rotterdam dan Groningen.

Ia juga memerlukan pemimpin yang mengelola berbagai divisi untuk menjalankan organisasi dan merekrut anggota-anggota baru. Para wakil akan menggantikan mereka yang tewas, tapi akan memberikan pukulan moral yang signifikan bagi para anggota kita."

Aku mendengarkan dengan serius. "Sebentar, berapa banyak anggota kita sebenarnya, di seluruh Belanda?" Ia berpikir sejenak. "Sekitar 60 orang, dan terdapat cabang kita di 10 kota." Kulanjutkan bertanya. "Aku tidak sempat bertanya dengan Marlene, tapi bagaimana kalian saling berkomunikasi? Yang berada di Leiden jumlahnya tidak banyak, jadi bisa cukup membahas aktivitas tanpa menarik perhatian."

Belum terjawab pertanyaannya, seorang perempuan berambut pirang keabu-abuan memasuki ruangan. Ia mengenakan sebuah blouse berwana pasir dan rok putih yang cukup panjang. "Jawabannya sederhana, kami menggunakan radio tersembunyi. Radio-radio tersebut dibongkar hingga bagian paling kecil dan dirakit kembali. Kami menggunakan radio dua arah untuk saling berkomunikasi dengan para pemimpin di kota-kota, dan mereka menyampaikan informasi tersebut melalui pertemuan yang tidak mencolok dan disampaikan secara lisan. Namun jika situasi tidak memungkinkan, kita menggunakan surat seperti biasa, mengingat rezim Meijer tidak akan memeriksa isi surat kecuali pernah ditangkap karena suatu kejahatan." Ia berdiri di sebelah Mark dan tersenyum. "Maaf, aku lupa memberikan namaku. Cornelia van Ogtrop. Panggil saja aku Corrie." Ia menjulurkan tangan kanannya yang tidak memegang sebuah buku tebal di tangan kirinya. Aku berdiri sejenak dan menjabat tangannya. "Senang bertemu denganmu, Corrie." Mark kembali berbicara. "Untuk saat ini, kita harus mengubah strategi. Kita masih melaksanakan dua rencana: Merekrut anggota-anggota baru, dan memperoleh senjata, baik legal maupun ilegal. Orang yang menodongmu hingga ke sini, dia salah seorangnya. Corrie, panggilkan dia."

Corrie mengangguk dan segera berjalan meninggalkan ruangan. "Mark. Aku pernah mendengar bahwa kau adalah salah anggota dari Partai Buruh. Betulkah itu?" Kutaruh cangkir teh di meja. Mark tersenyum. "Betul sekali, meskipun aku sebetulnya bukan dari keluarga pekerja, tetapi aku hidup dekat dengan mereka. Ayahku seorang pemilik tambang batubara di Heerlen. Kau tahu, kondisi para penambang di kota itu... tidaklah bagus." Ia mendesah. Aku menatapnya dengan heran. "Apa maksudmu, kehidupan penambang memang sulit. Apa bedanya dengan kondisi tambang lainnya?" Ia menatapku dengan muka tersinggung. "Karena kau tidak melihat langsung kondisi mereka pada saat itu. Dan ini juga karena kebijakan yang dikeluarkan oleh Meijer itu. Betul, kondisi pertambangan dimana saja pasti tidak menyenangkan, perusahaan-perusahaan tambang biasanya mempekerjakan penambang-penambang baru karena mereka tidak punya pilihan lain, alias tidak ada kesempatan memperoleh uang selain menjadi penambang."

"Para pekerja, baik pekerja asing maupun lokal diperlakukan dengan sangat keras, dimana mereka jarang diberi waktu istirahat dan harus menghadapi tekanan dari para penjaga, yakni orang-orang militer."

"Hal tersebut juga dialami oleh para pekerja lainnya di seluruh Belanda. Banyak para pekerja dan kaum menengah ke bawah yang harus mengalami tekanan dan pemerasan dari pihak militer. Mereka selalu diminta untuk membayar pajak yang sangat tinggi dan apabila tidak mampu membayar, mereka akan diambil alih oleh tenaga kerja yang disiapkan oleh para perusahaan-perusahaan besar."

Mark berdiri sebentar dan berjalan menuju sebuah lemari kecil dan mengambil sebuah koran. "Lihatlah." Aku mengambil koran tersebut dan membacanya. Banyak artikel yang terlihat mendukung kebijakan pemerintah, yang dengan teganya menuliskan bahwa masyarakat harus taat membayar pajak demi kepentingan pembangunan negara dan masyarakat akan mendapat hasil yang setimpal. "Koran-koran dikontrol pemerintah... Tapi koran di Leiden tidak terlihat mendukung mereka atau bagaimana?" Mark kembali murung. "Mereka diancam, oleh para Zwijgende Jongens itu. Mereka diberi pilihan: Beritakan yang mendukung pemerintah, atau tetap netral. Mereka memilih netral." Aku yang tidak percaya apa yang baru saja aku dengar, hanya bisa terdiam.

 

"Baas, Mill sedang berdiskusi dengan orang-orangnya serta beberapa anggota kita, ada orang yang ingin kau temui." Corrie memasuki ruangan bersama dengan anak buah lainnya dia mendorong Judith yang badanya terikat ke lantai. "Judith! Kenapa kau disini?" aku langsung mendekatinya. Judith terlihat lemas dan enggan untuk bangun.

"Kau apakan dia!? Dia tidak ada hubungannya dengan kita!" Aku mencengkram si anak buah, yang membuatnya kaget. "Dia orang asing, tetapi tetap mengetahui namamu, kami harus berjaga jaga. Lagipula, siapa dia Anna?" Mark berdiri dari kursinya dan menepuk pundakku. Aku melepaskan cengkraman. "Dia anak angkat pendeta! Dia sempat memberikanku tempat tinggal selama dalam perjalanan menuju kesini! Dia tidak tahu apa-apa!"

"Robert, bawa dia ke sofa. Aku ingin mendengar apa yang bisa ia sampaikan." Judith dibawa ke sofa dan ia duduk bersandar kepada pinggiran sofa. "Aku... tidak berniat apa-apa yang buruk meneer. Kenapa aku ditangkap, dan dibuat pingsan?" Mark menjawab sambil berlutut disampingnya. "Aku ingin tahu, sebelum menjawab. Apakah, kamu punya ketertarikan di bidang obat-obatan dan dunia medis?" Judith terkejut, tetapi tetap menjawab. "I..Iya.. kenapa?" Mark tersenyum. "Kau mungkin bisa bermanfaat. Bagaimana kalau kau ikut organisasi kami, nona..?" Corrie terlihat terkejut dengan ucapan Mark. "Ta.. tapi Mark? Dia orang asing, apa kau yakin-" Mark menyuruhnya untuk diam. "Tidak apa-apa. Ia tidak akan membocorkan apapun, karena ia bisa bermanfaat untuk kita." Judith masih tercengang, tapi sudah mulai terlihat tenang. "Kau.. tidak akan membunuhku?" Nada ucapannya masih terdengar tegang. "Tidak. Kau Judith van de Kerk, bukan? Aku mengenal pastoor yang mengangkatmu, Agthoven. Orang yang baik, kami sering bertemu di gereja dan berbicara banyak hal. Ia sering berkata baik tentangmu."

Judith kembali terlihat kaget, dan tidak tahu harus berkata apa. "Aku.. tidak tahu, apakah bisa mempercayaimu atau tidak. Orang-orangmu dibilang tidak akan menyakitiku oleh Anna, tapi aku diculik, dibuat pingsan, diikat dan didorong ke lantai. Aku ingin pulang, ke bapak Agthoven." Ia terlihat kecewa kepadaku, yang telah salah percaya mengenai ucapanku sebelumnya.

Mark mendesah. "Aku paham, ini demi penjagaan dan karena kau orang asing, tapi kami bisa memastikan bahwa-" Tiba-tiba, Jane Mill, orang yang menodongku di ruang bawah tanah, mendobrak masuk. "Maaf tuan dan nona, ada tamu tak diundang datang." Mukanya terlihat cemas dan membawa sepucuk pistol.

Suasana menjadi tegang ketika kami berlarian menuju jendela balkon. Di ujung halaman depan, dengan kondisi cuaca yang mulai hujan salju, dua truk berwarna hijau tua terparkir di halaman, melewati pintu gerbang yang sudah didobrak paksa. Beberapa orang memakai seragam polisi militer keluar dari bak truk dengan jumlah banyak dan mulai berlarian menuju ke dalam rumah. "Mill! Kerahkan orang-orangmu sebisa mungkin!" Teriak Mark, selagi mengeluarkan pistolnya. Mill tidak menjawab dan langsung berlari menuju lantai bawah. Kami mengikuti hingga pinggiran tangga dan melihat beberapa orang tak berseragam, sekitar sepuluh orang, berlari menghadap jendela rumah membawa bedil dan senapan otomatis. Adu tembak dimulai dengan dahsyat.

Mill berlari kembali ke atas membawa dua Maschinenpistole 18. "Hey, Indo, kau bisa pakai ini?" Tanyanya dengan nada menghina tapi juga tegas. Aku ragu tapi tetap mengangguk dan mengambilnya. Mill juga menghampiri Corrie. "Kalau kau? Bisa?" Corrie terlihat menggigil dan ketakutan, sambil menggeleng-geleng kepala dan memojokan diri. "Merde! Sudahlah. Kau! bantu aku di jendela barat!"

Aku langsung berlari mengikuti Mill menuju jendela di bagian barat rumah, dimana ia langsung membidik senapannya dan segera menembak. Suara tembakan yang keluar dengan cepat memekakkan telinga. Aku menarik handle, membidik dan menembak. Kekuatan dari senapan membuatku terdorong sedikit, tetapi tetap terus bertahan. Terlihat beberapa tembakan mengenai badan polisi militer yang menyerbu.

Polisi militer bersembunyi di balik ornamen-ornamen halaman depan dan juga dibalik truk tempat mereka datang. Beberapa dari mereka jatuh tertembak, tetapi mereka tetap terus menembak. Mill berpindah tempat dan segera ke lantai bawah. Beberapa peluru nyaris mengenai mukaku dan menghantam tembok, menyebabkan debu dan puing mulai berserakan. Keadaan terlihat menguntungkan, beberapa polisi militer jatuh, dan tinggal terlihat sedikit dari mereka tersisa. Namun, ketenangan tersebut hanyalah sebentar.

Tiba-tiba terlihat bantuan tak terduga. "Judith!? Apa yang kamu lakukan? Menyingkir!" Kulihat dia membawa tas kecilnya berisi obat-obatan dan perban. "Aku tidak ingin ada yang terluka, meskipun mereka melukaiku sebelumnya! Kuambil ini dari kotak P3K di dalam tadi!" Ia langsung berlari ke lantai bawah, melewati rentetan peluru dan debu. Gila, kukira dia masih takut, pikirku. Judith langsung mendekati yang terkena tembakan dan berusaha sebisanya untuk membantu.

"Apa-apaan!? Ada lima truk datang!" Teriak salah seorang anggota  V.C langsung berlari kedalam ruangan dan menuju ke bawah. Di jalan utama, terlihat lima buah truk berdatangan yang pastinya berisi bala bantuan. "Kita tidak mungkin melawan lagi! Jumlah kita kalah jauh!" Teriak Mark dari samping salah satu jendela. Beberapa anggota V.C menariknya ke ruangan lain. "Anda harus menyingkir baas! Tidak aman lagi di sini!" Teriak mereka. Mereka membawanya turun menuju lantai bawah dan aku mengikuti dari belakang. Pemandangan di lantai bawah mengerikan, beberapa orang Mill tergeletak dengan luka tembak dimana-mana, beberapa duduk menghadap tembok sambil mendesah menahan sakit dan memegang bagian yang terluka.

"Hentikan tembakan! Tidak ada yang bisa kita lakukan lagi!" Teriak Mark dari belakang. Corrie, Mill dan aku menatapnya dengan terkejut. "Apa kau serius Mark? Tapi bagaimana nasib kita nantinya?" tanyaku padanya. "Kita tidak punya banyak pilihan, orang-orang Mill yang ikut kesini tidak banyak, dan bala bantuan memakan waktu berjam-jam untuk sampai. Kalau kita terus melawan, kita akan mati, perjuangan kita akan sia-sia."

Aku terdiam, tidak tahu harus bagaimana ketika terdengar suara hentakan kaki yang semakin mendekat. Brak. Pintu depan terbuka lebar dan banyak polisi militer berpakaian hijau tua yang memasuki ruangan, bersenjata lengkap. "Handen omhoog! Waag het niet je te verzetten of we openen het vuur!" ("Angkat tangan! Jangan coba-coba melawan atau kami akan melepaskan tembakan!") Teriak polisi militer yang paling depan, membawa sepucuk pistol. Semua mengangkat tangannya dan terdiam. Selamat di Rotterdam, mati di Vaals, sial.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun