Sore berikutnya, saat angin kembali menghempaskan awan jauh melintasi daratan datar dan cahaya kembali terbenam dalam guratan-guratan keperakan di rerumputan, Anggun pergi ke rumah Tisa.
Undangannya sederhana---sebuah catatan tulisan tangan di kotak surat, dengan tinta dan huruf-huruf melengkung yang rapi.
"Minum Teh di rumahku. Jam 4 sore. Waktunya."
Tanpa sapaan, tanpa nama, hanya pesan singkat begitu saja. Namun Anggun langsung tahu siapa pengirimnya. Hanya Tisa yang menulis dengan campuran ketenangan dan ketegasan seperti itu.
Saat melangkah melewati gerbang taman, dia memperhatikan bahwa meskipun baru awal musim hujan, mawar-mawar di sepanjang pagar mekar sesekali - percikan warna-warna kecil yang semarak di antara dedaunan yang layu. Rumah Tisa tampak seperti biasa, seolah tak banyak berubah selama puluhan tahun. Hanya daun jendelanya yang baru dicat, biru tua yang kontras dengan batu bata lapuk.
Tisa membuka pintu sebelum Anggun sempat mengetuk. Dia mengenakan selendang rajutan di bahunya dan mengikat rambut peraknya ke belakang membentuk sanggul. Matanya, cokelat kelabu muda dan tenang, menatap Anggun dengan ekspresi yang sulit ditafsirkan - campuran antara harapan dan kesepakatan, dan mungkin sedikit kekhawatiran.
"Kamu tepat waktu," katanya, sambil minggir dan membiarkan Anggun masuk.
Rumah itu beraroma pai susu, timi atau oregano kering, dan - Anggun hampir tak percaya - lavender. Mungkin itu hanya imajinasinya, dipicu oleh pikirannya beberapa hari terakhir. Tapi aroma itu tetap ada, seperti kenangan yang tak kunjung hilang.
Di ruang tamu, meja teh tua tertata rapi. Sepotong kayu ek gelap bundar, di atasnya terdapat nampan perak berisi porselen halus. Tekonya terbuat dari besi cor hitam, dihiasi pola-pola halus yang mengingatkan pada rumput laut dan ombak. Di samping teko terdapat kluntjes kecil yang dipanggang halus - bongkahan gula putih yang dimaksudkan untuk meleleh perlahan dalam teh. Itu bukan undangan minum teh biasa. Itu semacam upacara - sederhana namun bermakna.