Aku mendengarkan dengan serius. "Sebentar, berapa banyak anggota kita sebenarnya, di seluruh Belanda?" Ia berpikir sejenak. "Sekitar 60 orang, dan terdapat cabang kita di 10 kota." Kulanjutkan bertanya. "Aku tidak sempat bertanya dengan Marlene, tapi bagaimana kalian saling berkomunikasi? Yang berada di Leiden jumlahnya tidak banyak, jadi bisa cukup membahas aktivitas tanpa menarik perhatian."
Belum terjawab pertanyaannya, seorang perempuan berambut pirang keabu-abuan memasuki ruangan. Ia mengenakan sebuah blouse berwana pasir dan rok putih yang cukup panjang. "Jawabannya sederhana, kami menggunakan radio tersembunyi. Radio-radio tersebut dibongkar hingga bagian paling kecil dan dirakit kembali. Kami menggunakan radio dua arah untuk saling berkomunikasi dengan para pemimpin di kota-kota, dan mereka menyampaikan informasi tersebut melalui pertemuan yang tidak mencolok dan disampaikan secara lisan. Namun jika situasi tidak memungkinkan, kita menggunakan surat seperti biasa, mengingat rezim Meijer tidak akan memeriksa isi surat kecuali pernah ditangkap karena suatu kejahatan." Ia berdiri di sebelah Mark dan tersenyum. "Maaf, aku lupa memberikan namaku. Cornelia van Ogtrop. Panggil saja aku Corrie." Ia menjulurkan tangan kanannya yang tidak memegang sebuah buku tebal di tangan kirinya. Aku berdiri sejenak dan menjabat tangannya. "Senang bertemu denganmu, Corrie." Mark kembali berbicara. "Untuk saat ini, kita harus mengubah strategi. Kita masih melaksanakan dua rencana: Merekrut anggota-anggota baru, dan memperoleh senjata, baik legal maupun ilegal. Orang yang menodongmu hingga ke sini, dia salah seorangnya. Corrie, panggilkan dia."
Corrie mengangguk dan segera berjalan meninggalkan ruangan. "Mark. Aku pernah mendengar bahwa kau adalah salah anggota dari Partai Buruh. Betulkah itu?" Kutaruh cangkir teh di meja. Mark tersenyum. "Betul sekali, meskipun aku sebetulnya bukan dari keluarga pekerja, tetapi aku hidup dekat dengan mereka. Ayahku seorang pemilik tambang batubara di Heerlen. Kau tahu, kondisi para penambang di kota itu... tidaklah bagus." Ia mendesah. Aku menatapnya dengan heran. "Apa maksudmu, kehidupan penambang memang sulit. Apa bedanya dengan kondisi tambang lainnya?" Ia menatapku dengan muka tersinggung. "Karena kau tidak melihat langsung kondisi mereka pada saat itu. Dan ini juga karena kebijakan yang dikeluarkan oleh Meijer itu. Betul, kondisi pertambangan dimana saja pasti tidak menyenangkan, perusahaan-perusahaan tambang biasanya mempekerjakan penambang-penambang baru karena mereka tidak punya pilihan lain, alias tidak ada kesempatan memperoleh uang selain menjadi penambang."
"Para pekerja, baik pekerja asing maupun lokal diperlakukan dengan sangat keras, dimana mereka jarang diberi waktu istirahat dan harus menghadapi tekanan dari para penjaga, yakni orang-orang militer."
"Hal tersebut juga dialami oleh para pekerja lainnya di seluruh Belanda. Banyak para pekerja dan kaum menengah ke bawah yang harus mengalami tekanan dan pemerasan dari pihak militer. Mereka selalu diminta untuk membayar pajak yang sangat tinggi dan apabila tidak mampu membayar, mereka akan diambil alih oleh tenaga kerja yang disiapkan oleh para perusahaan-perusahaan besar."
Mark berdiri sebentar dan berjalan menuju sebuah lemari kecil dan mengambil sebuah koran. "Lihatlah." Aku mengambil koran tersebut dan membacanya. Banyak artikel yang terlihat mendukung kebijakan pemerintah, yang dengan teganya menuliskan bahwa masyarakat harus taat membayar pajak demi kepentingan pembangunan negara dan masyarakat akan mendapat hasil yang setimpal. "Koran-koran dikontrol pemerintah... Tapi koran di Leiden tidak terlihat mendukung mereka atau bagaimana?" Mark kembali murung. "Mereka diancam, oleh para Zwijgende Jongens itu. Mereka diberi pilihan: Beritakan yang mendukung pemerintah, atau tetap netral. Mereka memilih netral." Aku yang tidak percaya apa yang baru saja aku dengar, hanya bisa terdiam.
Â
"Baas, Mill sedang berdiskusi dengan orang-orangnya serta beberapa anggota kita, ada orang yang ingin kau temui." Corrie memasuki ruangan bersama dengan anak buah lainnya dia mendorong Judith yang badanya terikat ke lantai. "Judith! Kenapa kau disini?" aku langsung mendekatinya. Judith terlihat lemas dan enggan untuk bangun.
"Kau apakan dia!? Dia tidak ada hubungannya dengan kita!" Aku mencengkram si anak buah, yang membuatnya kaget. "Dia orang asing, tetapi tetap mengetahui namamu, kami harus berjaga jaga. Lagipula, siapa dia Anna?" Mark berdiri dari kursinya dan menepuk pundakku. Aku melepaskan cengkraman. "Dia anak angkat pendeta! Dia sempat memberikanku tempat tinggal selama dalam perjalanan menuju kesini! Dia tidak tahu apa-apa!"
"Robert, bawa dia ke sofa. Aku ingin mendengar apa yang bisa ia sampaikan." Judith dibawa ke sofa dan ia duduk bersandar kepada pinggiran sofa. "Aku... tidak berniat apa-apa yang buruk meneer. Kenapa aku ditangkap, dan dibuat pingsan?" Mark menjawab sambil berlutut disampingnya. "Aku ingin tahu, sebelum menjawab. Apakah, kamu punya ketertarikan di bidang obat-obatan dan dunia medis?" Judith terkejut, tetapi tetap menjawab. "I..Iya.. kenapa?" Mark tersenyum. "Kau mungkin bisa bermanfaat. Bagaimana kalau kau ikut organisasi kami, nona..?" Corrie terlihat terkejut dengan ucapan Mark. "Ta.. tapi Mark? Dia orang asing, apa kau yakin-" Mark menyuruhnya untuk diam. "Tidak apa-apa. Ia tidak akan membocorkan apapun, karena ia bisa bermanfaat untuk kita." Judith masih tercengang, tapi sudah mulai terlihat tenang. "Kau.. tidak akan membunuhku?" Nada ucapannya masih terdengar tegang. "Tidak. Kau Judith van de Kerk, bukan? Aku mengenal pastoor yang mengangkatmu, Agthoven. Orang yang baik, kami sering bertemu di gereja dan berbicara banyak hal. Ia sering berkata baik tentangmu."
Judith kembali terlihat kaget, dan tidak tahu harus berkata apa. "Aku.. tidak tahu, apakah bisa mempercayaimu atau tidak. Orang-orangmu dibilang tidak akan menyakitiku oleh Anna, tapi aku diculik, dibuat pingsan, diikat dan didorong ke lantai. Aku ingin pulang, ke bapak Agthoven." Ia terlihat kecewa kepadaku, yang telah salah percaya mengenai ucapanku sebelumnya.