Mohon tunggu...
Sungkowo
Sungkowo Mohon Tunggu... Guru - guru

Sejak kecil dalam didikan keluarga guru, jadilah saya guru. Dan ternyata, guru sebuah profesi yang indah karena setiap hari selalu berjumpa dengan bunga-bunga bangsa yang bergairah mekar. Bersama seorang istri, dikaruniai dua putri cantik-cantik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Balap Motor Liar (Remaja) Perlu Edukasi Bersama

6 Februari 2023   20:04 Diperbarui: 6 Februari 2023   23:07 1167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
lustrasi balap liar (KOMPAS.com/TAUFIQURRAHMAN ) 

Akhir-akhir ini pada setiap malam Minggu di salah satu jalan utama di pusat kota, Kudus, Jawa Tengah, dapat dijumpai remaja berkumpul di tepian jalan.

Mereka membentuk kelompok-kelompok. Bisa lima hingga sepuluh remaja satu kelompoknya. Mereka bermotor.

Satu kelompok terkonsentrasi di lokasi tertentu di tepi jalan itu. Kelompok yang lain berada di lokasi yang berbeda, agak sedikit jauh.

Pun demikian kelompok yang lainnya lagi terpusat di lokasi lain. Lebih kurang setengah tepian jalan utama yang salah satu ujungnya bermuara di alun-alun Simpang Tujuh, itu ramai.

Saya kerap melihatnya ketika pulang dari gereja agak malam. Ada rasa khawatir sebab biasanya anak-anak seusia mereka senang berulah, apalagi terlihat kumpul-kumpul.

Baru kemudian saya mengetahuinya bahwa mereka berkumpul tersebut karena sedang melihat atau mengikuti balap motor liar. 

Untuk memastikannya, pada lain waktu, saya menanyakan hal itu kepada beberapa orang. Jawabannya sama, yaitu balap motor liar oleh kelompok remaja.

Saya juga mendapat informasi tambahan bahwa mereka, baik pembalap liar maupun penontonnya, sering kucing-kucingan dengan polisi.

Kalau mereka ketahuan polisi, baik yang pembalap maupun penontonnya, segera meninggalkan lokasi. Polisi bisa menangkapnya jika terlambat meninggalkan lokasi tersebut. Bisa saja pembalapnya, bisa juga penontonnya yang ditangkap.

Bahkan, berdasarkan informasi dari beberapa siswa saya di sekolah, pada situasi seperti itu pembalap dan penontonnya tidak selalu langsung pulang ke rumah. Mereka berada di lokasi lain sambil menunggu polisi sudah pergi atau belum.

Untuk memastikan polisi sudah pergi atau belum, mereka biasanya mengirim "mata-mata" dengan mengendarai motor standar melewati jalan, tempat mereka beraksi. Jika dipastikan polisi sudah pergi, mereka kembali ke jalan tersebut.

Selain itu, kadang mereka menuju ke lokasi lain. Biasanya di jalan lingkar. Itu lokasi yang tepat.

Sebab, jalan lingkar sangat luas dan panjang. Rata permukaannya, tidak turun-naik. Hanya, lokasinya jauh berada di luar pusat kota.

Polisi belum tentu mau mengejarnya sampai di lokasi baru itu. Polisi membutuhkan istirahat juga. Mengejarnya berarti menambah kelelahan. Sehingga, mungkin saja polisi akhirnya membiarkan mereka. Yang penting tidak beraksi di jalan utama pusat kota. Karena tentu banyak orang melihatnya dan itu sangat mengganggu masyarakat.

Tren di banyak tempat

Aksi balap motor liar tampaknya menjadi tren di banyak tempat. Sudah sejak lama. Seingat saya, sebelum pandemi sudah ada. Bahkan, mungkin sebelumnya lagi sudah ada. Tetapi, terkait dengan lokasi yang sudah saya sebut di atas adanya baru-baru saja. Yang di salah satu jalan utama pusat kota itu.

Tetapi, yang berlokasi di jalan lingkar sudah lama ada. Misalnya, di jalan lingkar selatan yang lokasinya lebih kurang 1 kilo meter dari lokasi rumah kami. Saat-saat tertentu pada malam hari terdengar motor balap liar. 

Ciri suara motor balap liar sangat jelas. Berbeda dengan suara motor yang dikendarai masyarakat biasa. Suara motor balap liar sangat keras karena knalpotnya grong, hasil modifikasi.

Kalau digas pol, suaranya semakin keras lagi. Memekakkan telinga orang yang berada di lokasi. Dari lokasi rumah kami saja terdengar. Suara seperti itu bagi orang tertentu, termasuk saya, menimbulkan rasa miris.

Tren ini ternyata tidak hanya di kota. Di desa-desa juga ada. Pernah saya melihatnya di jalan desa ketika kami berkunjung ke rumah orangtua yang kebetulan malam hari.

Itu pas malam Minggu. Banyak himpunan remaja yang duduk-duduk di jok motor di tepi jalan yang kami lewati. Satu himpunan di sebelah sini. Satu himpunan di sebelah sana. Yang lainnya ada di lokasi itu. Yang lainnya lagi ada di lokasi ini. Banyak. Mereka dalam sorot lampu jalan yang remang-remang.

Saya yakin remaja di desa-desa yang lain pun sangat mungkin melakukan tren yang sama. Yaitu, balap motor liar.

Tren ini --karena salah satu hobi remaja-- sangat mudah menyebar di kalangan remaja pada zaman digital ini. Gawai yang mereka miliki sangat mendukung penyebarannya.

Tidak ada data

Mengendarai motor secara biasa saja sering terjadi kecelakaan. Misalnya, selama operasi lilin (24 Desember 2021 hingga 2 Januari 2022) tercatat ada kenaikan 31 persen jumlah kecelakaan lalu lintas dari periode yang sama tahun sebelumnya.

Pada periode yang sama tahun sebelumnya ada 772 kecelakaan. Sedangkan, pada 2020 ada 529 kecelakaan (sumber 1).

Tentu dalam mengendarai motor secara liar, tepatnya balap motor liar, korbannya dimungkinkan lebih banyak. Sebab, setiap malam Minggu ada dan keberadaannya menyebar dari kota hingga desa.

Akibat yang terparah pun bisa saja terjadi. Yaitu adanya korban tewas. Sayang, korban balap motor liar tidak pernah dilaporkan kepada polisi. Sehingga, selama ini tidak ada data kecelakaan balap motor liar (sumber 2).

Terkait dengan hal itu, saya memiliki informasi. Kata salah seorang siswa saya begini, korban tewas memang langsung dibawa dengan ambulans.

Ambulans dihubungi oleh teman-teman korban. Jadi tidak melibatkan polisi. Pun tidak melibatkan orang-orang kampung terdekat lokasi. Dengan begitu, tidak mungkin ada data yang dapat tercatat.

Edukasi bersama

Salah seorang siswa saya yang menjadi informan itu mengaku bahwa ia hanya melihat. Pengakuan itu belum tentu benar. Artinya, bisa saja ia ikut menjadi pembalap liarnya.

Dan, sangat mungkin ada siswa saya yang lain sama seperti siswa yang sudah saya sebut di atas. Sebab, biasanya anak-anak seusia mereka mudah saling memengaruhi. Satu mengajak yang lain, begitu mudah.

Yang satu suka sesuatu karena baru tren, yang lain ikut-ikutan. Itu pun saya yakini demikian juga yang terjadi dalam tren balap motor liar.

Maka, tren demikian pasti banyak diikuti oleh anak seusia SMP dan SMA/SMK dan yang sederajat. Persis seperti yang dikatakan oleh salah seorang siswa saya bahwa mereka yang mengikuti kebanyakan seusia anak SMP dan SMA.

Saya mengamininya sebab rerata yang saya pernah jumpai seperti yang sudah saya singgung di atas adalah anak-anak remaja. Anak remaja seumur anak SMP dan SMA/SMK dan yang sederajat.

Anak-anak seumur ini, selain mudah terpengaruh tren, juga ingin menunjukkan jati dirinya kepada orang lain. Sebuah kebanggaan diri yang harus dirayakan bersama-sama. Dan, dalam balap motor liar ini salah satunya. 

Kita mafhum bahwa mereka merupakan generasi penerus. Dan, kita juga mafhum bahwa membiarkan mereka dalam tren yang kurang baik sama dengan membiarkan bangsa ini rusak.

Maka, upaya bersama untuk mengedukasi mereka merupakan solusi terbaik. Pertama, sekolah, terutama SMP dan yang sederajat, sudah semestinya tidak mengizinkan siswanya mengendarai motor sendiri saat pergi-pulang sekolah.

Di sekolah tempat saya mengajar sudah menerapkan cara ini. Sebagian besar siswa menaiki sepeda. Sebagian diantar jemput. Dan, sebagiannya lagi berjalan kaki.

Sekalipun tidak dapat dipungkiri masih ada siswa di sekolah tempat saya mengajar, yang dengan cara sembunyi-sembunyi mengendarai motor. Baik pulang maupun pergi sekolah.

Mereka menitipkan motornya di rumah warga sekitar sekolah. Dari rumah penitipan itu ke sekolah mereka berjalan kaki.

Beberapa guru sudah mengetahuinya. Sehingga, setiap kali ada kegiatan bersama di lapangan, hal itu disampaikan/diperingatkan kepada seluruh siswa.

Toh sejauh itu, tetap saja ada siswa yang berperilaku menyimpang, menitipkan motor di rumah warga dekat sekolah. Jumlahnya memang tidak banyak.

Semestinya, ini yang kedua, warga sekitar sekolah harus mendukung peraturan sekolah. Warga harus menolak kalau ada siswa mau menitipkan motor. Ini edukasi yang dimaksud. Yaitu, warga sekitar sekolah turut mengedukasi siswa dalam hal berkendaraan.

Sebaliknya, warga yang menerima siswa menitipkan motor di rumahnya sama artinya membuat mentah peraturan sekolah. Bahkan, warga bersangkutan tidak ikut mendukung edukasi sekolah terhadap siswa mengenai transportasi seharusnya.  

Peraturan yang mengharuskan siswa SMP dan yang sederajat tidak mengendarai motor saat pergi-pulang sekolah sudah sesuai dengan sistem PPDB, khususnya jalur zonasi. Sebab, jalur zonasi mengarahkan orangtua untuk menyekolahkan anaknya di sekolah terdekat dengan alamat berdomisili.

Jumlah siswa yang diterima lewat jalur zonasi relatif banyak. Pergi-pulang sekolah cukup berjalan kaki. Pun demikian yang diterima di luar jalur zonasi, relatif masih dapat menjangkau sekolah dengan bersepeda atau berjalan kaki.

Sayang, selama ini masih terlihat anak-anak SMP dan yang sederajat mengendarai motor saat pergi-pulang sekolah. Kadang-kadang mereka tidak berhelm. Bahkan, tidak jarang bertiga dalam satu motor.

Masih adanya SMP dan yang sederajat mengizinkan siswanya mengendarai motor saat pergi-pulang sekolah berarti tidak mengedukasi siswa dalam hal berkendara.

Malah seakan melegalkan mengendarai motor meski sekolah mengetahui hal itu melanggar norma berlalu lintas. Ini sangat memprihatinkan.

Ketiga, edukasi dapat juga dilakukan oleh pemerintahan desa/kelurahan. Melalui pertemuan RT, yang biasanya diadakan setiap bulan, edukasi tersebut dapat dilakukan.

Sebab, tidak semua orangtua memahami pentingnya mengedukasi anak dalam hal berkendaraan. Bahwa anak seusia SMP dan yang sederajat belum boleh mengendarai motor, belum tentu semua orangtua mengerti. Maka, edukasi demikian penting dilakukan di level pemerintahan desa/kelurahan.

Keempat, keluarga merupakan segmen vital dalam edukasi berkendaraan terhadap anggota keluarga. Orangtua harus tegas terhadap penggunaan motor bagi anaknya. Boleh mengendarai motor jika sudah saatnya. Dan, belum boleh mengendarai motor karena memang belum tiba saatnya.

Kelima, edukasi mengenai bermotor bagi anak dapat diperankan juga oleh masyarakat. Masyarakat bersama aparat bintara pembina desa (babinsa) dapat menegur atau menasihati anak-anak (baca: remaja) yang melakukan balap motor liar di lingkungannya. Sebab, jika dibiarkan akan mengganggu ketertiban dan keamanan masyarakat.

Kalau semua pihak peduli dan terlibat dalam edukasi mengenai penggunaan motor bagi remaja, maka dapat dipastikan balap motor liar oleh remaja dapat dikurangi. Itu artinya, kita pun turut menyiapkan dengan baik generasi penerus.

Sumber 1 dan 2 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun