Mohon tunggu...
Nabilah Fathimah Khairunnisa
Nabilah Fathimah Khairunnisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Institut Pertanian Bogor

Saya memiliki minat yang tinggi di bidang ekologi dan konservasi. Perhatian utama saya adalah keadaan lingkungan hidup, dan saya sangat ingin berkontribusi dalam menyelesaikan dan mencegah permasalahan lingkungan hidup di Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Ekowisata: Solusi atas Perburuan Liar yang Menjanjikan?

20 Maret 2024   13:30 Diperbarui: 21 Maret 2024   01:58 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kegiatan bird watching Sumber: https://jadesta.kemenparekraf.go.id/

Di era modern ini, masih ada segelintir masyarakat yang melakukan perburuan liar, salah satunya perburuan burung. Beberapa warga melakukan perburuan di daerah hutan yang dilindungi, seperti cagar alam. Biasanya, warga melakukan pemburuan liar ini karena adanya kebutuhan hidup yang harus dipenuhi, apalagi dengan adanya permintaan yang masih cukup tinggi terhadap hewan buruan tersebut dari warga perkotaan, sehingga hal ini menjadi mata pencaharian. Meski begitu, alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, terutama dalam ruang lingkup konservasi.

Pemburuan liar masih banyak terjadi di Bandung, khususnya di daerah Soreang dan Ciwidey, dimana pemburu burung rata-rata berasal dari sana. Namun, saat ini di daerah Ciwidey sudah banyak dicanangkan kegiatan konservasi, sehingga kegiatan pemburuan sudah mulai berkurang. Di Ciwidey terdapat beberapa cagar alam, diantaranya Cagar Alam Gunung Tilu, Cagar Alam Gunung Patuha, dan Cagar Alam Gunung Simpang. Perburuan burung paling banyak terjadi di Cagar Alam Gunung Tilu, yang di dalam wilayahnya terdapat beberapa desa, diantaranya Desa Sugihmukti dan Desa Gambung (mekarsari). Pada kedua desa ini, kegiatan perburuannya paling tinggi karena beberapa alasan. Pertama, adanya permintaan yang tinggi dari warga perkotaan. Kedua, lokasinya yang paling dekat dan mudah diakses sehingga perburuan dapat dilakukan dengan lebih efektif.

Desa Sugihmukti merupakan salah satu desa terbesar yang ada di Kecamatan Pasirjambu, dimana desa ini diapit oleh beberapa hutan lindung, salah satunya Cagar Alam Gunung Tilu. Luasan Cagar Alam ini lebih didominasi oleh wilayah Desa Sugihmukti. Beberapa warga desa memiliki kebiasaan untuk berburu di hutan. Berawal dari hobi, hal ini berujung menjadi sumber mata pencaharian. Selain berburu, warga desa juga membuka lahan perkebunan. Banyak wilayah hutan yang fungsi lahannya berubah karena permintaan kebutuhan pangan yang tinggi seperti wortel, kol, dan seledri. Perubahan fungsi lahan tersebut mengakibatkan tutupan lahan dan penyangga tanah berkurang, sehingga pada sekitar tahun 2021-2022 mulai terjadi banjir bandang dan longsor yang memberikan dampak langsung kepada Desa Sugihmukti.

Bencana tersebut menyadarkan banyak warga akan adanya sesuatu yang salah sedang terjadi di lingkungan desa mereka. Apalagi dengan kerugian besar yang dirasakan oleh warga desa. Para warga mendapatkan jawaban atas pertanyaan mereka dari salah satu Non-Govermental Organization (NGO) yang berfokus pada konservasi burung di Indonesia, bahwa penyebab terjadinya banjir dan tanah longsor adalah akibat dari dibukanya lahan untuk perkebunan. Setelah diadakan sosialisasi kepada warga, dibentuklah lembaga, program, dan komunitas yang dijalankan oleh warga desa.

Lembaga Swadaya Masyarakat yang dibentuk oleh desa kemudian menginisiasi adanya komunintas masyarakat yaitu Pasukan Jaga Leuweung (PJL). PJL memiliki beberapa program, salah satunya yaitu kegiatan pembibitan untuk penanaman kembali atau reboisasi area hutan di beberapa lokasi. Selain itu, para pemburu juga dibantu untuk mendapatkan mata pencaharian lain selain berburu, namun tetap sesuai dengan keahlian mereka. Para mantan pemburu ini diberi pelatihan untuk menjadi guide pada kegiatan pengamatan burung yang merupakan salah satu bagian dari ekowisata. Mereka juga tidak memiliki pilihan karena di Desa Sugihmukti telah memiliki Peraturan Desa. Salah satu isi dari peraturan ini yaitu melarang perburuan burung. PJL juga memiliki kegiatan patroli untuk mengawasi apakah masih ada kegiatan berburu di area hutan atau cagar alam. PJL sudah memiliki wewenang secara hukum, sehingga para pemburu akan lebih mematuhi mereka, apalagi PJL adalah bagian dari desa yang mereka kenal.

Lantas, dimanakah para mantan pemburu ini dapat bekerja setelah diberi pelatihan?

Para mantan pemburu dapat bekerja di bidang ekowisata, baik pada perusahaan jasa lingkungan maupun membuat jasa ekowisata mandiri pada wilayah yang berpotensi memiliki keanearagaman burung yang tinggi. Salah satu perusahaan jasa yang mengadakan kegiatan ekowisata yaitu Walk to Forest (WTF). Walk to Forest (WTF) adalah sebuah perusahaan yang berfokus pada layanan jasa aktivitas outdoor, berupa kegiatan trekking ke hutan atau Ruang Terbuka Hijau, pengamatan burung (bird watching), maupun eksplorasi alam liar. WTF beroperasi secara legal di bawah PT. Djaga Alam Nusantara, dan sudah berdiri sejak tahun 2021 di Kota Bandung.

WTF tidak hanya memfasilitasi masyarakat yang ingin memiliki pengalaman berinteraksi dengan alam, namun juga berkomitmen untuk mendorong pariwisata berkelanjutan dan memberdayakan komunitas lokal. Dalam hal ini, salah satunya yaitu menjadikan Desa Sugihmukti sebagai lokasi untuk kegiatan pengamatan burung (bird watching) dan mengajak warga lokal berpartisipasi sebagai guide

“Pendapatan yang didapatkan dari usaha ini akan lebih stabil dan berkelanjutan dibandingkan memburu burung, karena lama kelamaan keberadaan burung tidak akan tersisa lagi apabila diburu secara terus-menerus,” ujar Mutiara, salah satu mahasiswa universitas di Bandung yang menjadi guide dari WTF. “Selain itu, penghasilan yang didapatkan dari berburu pun seringkali dihargai dengan harga yang tidak sesuai,” tambahnya.

Adanya layanan jasa ini bukan hanya dapat memberi para warga lokal penghasilan, namun juga tetap menjaga kelestarian alam sehingga memberikan keuntungan bagi semua pihak. Apalagi, konsep kegiatan seperti ini sangat menarik minat para anak muda di perkotaan yang memiliki rasa ingin tahu terhadap eksplorasi alam. Pemilihan lokasi di Desa Sugihmukti juga didukung oleh keanekaragaman burung disana. Tercatat bahwa 20 jenis burung dan tujuh burung endemis menjadikan Desa Sugihmukti sebagai rumah tempat mereka bernaung (Yunus, 2023). Keberadaan burung ini semakin menambah daya tarik bagi wisatawan untuk mengamati perilaku mereka di alam liar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun