“Ngapain lu bawa becak lu mulu ke sini? Ini kawasan elit, tau ga?” Seorang anak laki-laki menghampiri Adi bersama dengan teman-temannya yang lain.
“Lu liat baik-baik.” Anak usia tanggung itu mencengkeram kerah kemeja Adi dan menunjuk ke arah papan nama di atas gerbang sekolah.
“Baca! Itu sekolah swasta termahal di daerah Jakarta Selatan.” Perintah anak lelaki itu dengan lantang.
“Cuma mobil-mobil mewah yang bisa masuk. Becak lu bikin jelek nama sekolah ini gara-gara sering mondar-mandir. Bikin rusak pemandangan sekitar aja.” Lanjut anak itu dengan penuh emosi.
Gerombolan anak laki-laki itu menghampiri becak Adi dan menggoyang-goyangkannya. Adi melepaskan cengkeraman di kerahnya dan berlari ke arah becaknya, berusaha untuk mencegah.
“Brakkk!” Terdengar suara keras. Adi terhenyak. Terlambat sudah. Ia memandang ke arah becaknya yang sudah terguling ke arah samping dengan perasaan campur aduk.
“Rino! Apa-apaan kamu ini!” Ica berlari dari dalam sekolah dan langsung mendorong badan Rino ke belakang, setelah ia melihat apa yang barusan terjadi.
“Uhh... Umm... Aku hanya menyuruh mereka untuk menakut-nakuti cowok itu, Ca. Tapi aku ga minta mereka untuk merusak becaknya. Aku yakin itu hanya kecelakaan aja.” Sahut Marino membela diri.
“Iya... Iya betul kok, Ca. Kami ga sengaja. Awalnya kami cuma mau goyang-goyangin becak ini aja. Ga taunya jadi terguling. Mungkin kami kekerasan tadi.” Salah satu temannya Marino menimpali.
“Cepet balikin becaknya seperti semula lagi!” Perintah Ica dengan lantang kepada Marino dan kawan-kawannya. Ia kemudian berjalan ke arah Adi yang saat itu tak tahu hendak berbuat apa. Adi terlihat sudah hampir tidak bisa menahan emosinya.
“Kamu gapapa kan, Di?” Tanya Ica dengan nada khawatir.