Mohon tunggu...
Rokhman
Rokhman Mohon Tunggu... Guru - Menulis, menulis, dan menulis

Guru SD di Negeri Atas Awan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kurikulum Baru dan Buku

24 Juli 2022   21:13 Diperbarui: 25 Juli 2022   05:45 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memasuki Tahun Ajaran 2022/2023 sebagian besar sekolah di semua jenjang akan memulai penerapan kurikulum baru. “Kurikulum Merdeka” begitu namanya. Terlepas dari pro dan kontra tentang kurikulum baru itu, saya teringat dengan anggapan yang berkembang di masyarakat, “Ganti Menteri ganti kurikulum.”

Anggapan itu bisa benar bisa juga salah. Namun yang jelas ketika terjadi perubahan kurikulum hampir bisa dipastikan ada proyek baru yakni pengadaan buku yang sesuai dengan tuntutan kurikulum.

Pergantian buku paket baik bagi siswa maupun guru ini tentunya tidak disia-siakan oleh para penyedia buku. Beberapa hari lalu ada sales buku pendamping (LKS) yang datang ke sekolah saya. Dengan berbagai cara dia meyakinkan kepala sekolah agar mau membeli bukunya

Salah satu jurus yang digunakan adalah akan memberikan fasilitas akomodasi untuk wisata bagi guru dan karyawan jika sekolah mau teken kontrak untuk membeli buku dalam jangka waktu tertentu. Luar biasa!

Namun ketika kepala sekolah menyampaikan hal tersebut kepada guru-guru tak satupun guru yang menanggapi. Bukan karena guru tidak taat kepada kepala sekolah tetapi bingung harus berkata apa. Sebab buku yang dibeli dengan dana BOS saja belum dipahami secara utuh.

Selama ini ada kekhawatiran ketika pergantian kurikulum tak lebih hanya bergantinya cover buku. Mungkin saat ini orang tua tidak lagi berbondong-bondong untuk membeli buku paket baru karena pembelian buku sudah dianggarkan dari dana BOS. Namun bisa saja sekolah mewajibkan anak untuk membeli buku pendamping karena faktor iming-iming tadi.

Kekhawatiran itu nampaknya ditunjukkan oleh kementerian terkait dengan meluncurkan buku paket dari beberapa penerbit. Hal itu tentu ditindaklanjuti oleh dinas pendidikan di daerah dengan menyampaikan informasi ke sekolah-sekolah penerima dana BOS untuk menganggarkan untuk pembelian buku. Entah dasar hukumnya kuat atau tidak yang jelas sekolah sudah mulai memesan buku-buku tersebut.

Jika kita mau jujur sebenarnya buku paket ini hanya bagian dari referensi saja. Namun dalam praktiknya selama puluhan tahun, buku paket telah menjadi semacam kitab suci. Buku paket harus dibaca dan dipelajari halaman demi halaman secara berurutan. Guru kadang hanya menyuruh buka halaman sekian dan kerjakan soal latihan nomor sekian dan seterusnya.

Padahal seharusnya pergantian kurikulum dimaknai sebagai pergantian mindset tentang pendidikan, bukan sekadar ganti buku paket. Tetapi, entah apa dan siapa yang memulai setiap ganti kurikulum ujung-ujungnya hanya berkiblat pada buku paket. Model dan cara mengajar guru pada akhirnya kembali seperti yang dulu lagi.

Yang lebih memprihatinkan jika para penyedia buku khususnya buku pendamping (baca: LKS) mempengaruhi pihak sekolah. Dengan berbagai iming-iming dan jurus mautnya akan selalu mempengaruhi para pengambil keputusan di tingkat sekolah. Mereka yang terpikat akan menganjurkan siswanya untuk membeli buku tersebut.

Ujung-ujungnya orang tua yang direpotkan karena harus membeli buku baru. Padahal buku bukan satu-satunya sumber belajar. Masih banyak sumber belajar lain yang bisa dimanfaatkan guru dan siswa. Apalagi di era internet saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun