Sambil menikmati kopi, mata saya terpana pada beberapa orang di depan saya yang sedang mandj alias batobo bahasa lokal. Tak ada yang salah, namun kekesalan saya muncul ketika mereka berenang ke tengah karang dan menginjak karang-karang hidup yang ada disekitar.Â
Mata saya kemudian terpaku pada seorang pria. Waega kampung sini yang juga membuka warung kecil tepat di pantai ini. Ia, nampak mengumpulkan batu-batu kecil dan sampah yang berserakan di sekitar bebatuan.Â
Batu-batu kecil ia kumpulkan satu tempat membentuk tanggul kecil agar ombak tidak menyapu pasir-pasir. Dan sampah ia kumpulkan ke karung.
Saya kemudian memulai obrolan, bertanya maksud ia membuat tanggul tersebut. Katanya, sejak karang rusak karena banyaknya wisatawan berdampak pada abrasi. Dulu,5 tahun lalu range antara pasir dengan bibir pantai masih jauh. Namun sekarang tinggal 2 meter bahkan ketika air pasang bisa sampai menyentuh tiang2 warung.
Setelah 3 jam saya memutuskan pulang dan disepanjang perjalanan ke tempat parkir saya menemukan begitu banyak sampah yang terselip di bebatuan. Sungguh kondisi yang sangat miris.
Kondisi ini tidak hanya terjadi di Pantai ini, hampir semua pantai wisata bahkan spot wisata di pegunungan juga sama. Selain di Kota Ternate, saya juga menemukan kondisi ini di pantai lain.
Pantai Pulau Maitara atau yang di kenal dengan pantai tempat wisata uang seribu. Karena pulau ini pernah menjadi latar belakang uang seribu lama. Kebetulan saya yang hobi mancing memilih pulau maitara untuk mancing dan sekaligus kemping. Aktivitas ini daya lakukan satu bulan sekali pada pantai yang berbrda-beda.Â
Disini saya begitu banyak fasilitas yang rusak baik sengaja maupun tidak sengaja. Dari Kamar mandi hingga pantai dan karang. Saya penasaran dan kemudian mengulik pada warga sekitar. Kebetulan, beberapa pemuda desa malam itu datang bersilaturhmi. Saya kemudian membuat kopi dan memulai obrolan.