Mohon tunggu...
Eka Supriatna
Eka Supriatna Mohon Tunggu... Totalitas Tanpa Batas Ikhlas Tanpa Balas

Seorang guru Agama Islam yang jatuh cinta pada dunia tulis-menulis. Saya pernah menjabat sebagai Wakil Kepala Sekolah bagian Humas, dan terbiasa mengelola website serta membuat berita kegiatan sekolah. Menulis bukan hanya sekadar hobi, tapi sudah menjadi bagian dari hidup saya. Pernah ikut workshop penulisan artikel dan berita, kini saya ingin lebih serius menekuni dunia jurnalistik digital. Melalui tulisan, saya ingin berbagi inspirasi, pengalaman, dan nilai-nilai kehidupan yang saya temui sebagai pendidik. Karena saya percaya: kata-kata yang baik bisa jadi amal jariyah yang abadi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Rapor dan Dilema Seorang Guru: Antara Angka, Akhlak, dan Harapan yang Terkubur

26 Juni 2025   13:19 Diperbarui: 26 Juni 2025   13:19 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap akhir semester, guru dihadapkan pada momen krusial: membagikan hasil belajar siswa, yang lebih kita kenal sebagai rapor. Sebuah lembaran kertas yang berisi angka-angka. Tampaknya sederhana, tetapi sesungguhnya menyimpan begitu banyak cerita. Di balik setiap angka, ada harapan, perjuangan, dan kadang---air mata.

Sebagai guru, saya sering terjebak dalam idealisme. Ingin menilai apa adanya, sesuai realitas kemampuan dan perilaku siswa. Namun realitas di lapangan berkata lain. Sistem penilaian sering kali mendorong kita untuk menyesuaikan nilai demi menjaga 'angka kelulusan', demi kenyamanan rapat dewan guru, atau agar tidak membuat 'masalah' dengan orang tua murid. Maka lahirlah nilai-nilai "kemanusiaan" atau dalam istilah populernya: pengkatrolan nilai.

Saya gelisah. Apakah ini yang disebut hasil belajar?

Ada murid yang pintar, sopan, dan penuh semangat---nilai akademiknya baik, akhlaknya pun mulia. Tidak ada masalah berarti dalam memberi nilai padanya. Tapi, bagaimana dengan mereka yang berada di ujung? Anak-anak yang nilai akademiknya rendah, sikapnya belum terbina, dan sering dianggap sebagai "beban kelas"? Nilainya pun mencerminkan hal itu---rendah, bahkan terancam tidak naik kelas.

Di sinilah letak dilema itu. Apakah saya, sebagai guru, akan menyerahkan mereka pada keputusan sidang yang kadang terasa seperti sidang vonis? Naik asal pindah sekolah? Atau tetap tinggal, tapi dengan luka harga diri yang makin menganga?

Saya bertanya dalam hati, apakah rapor hanya akumulasi nilai yang memenuhi kriteria penilaian tiap guru? Ataukah seharusnya ia menjadi potret utuh perkembangan seorang anak, dengan segala jatuh bangunnya?

Bukankah sejatinya sekolah adalah tempat menempa karakter, menumbuhkan minat dan bakat? Tapi mengapa justru banyak siswa kehilangan semangat, terkubur potensinya, karena hanya diukur lewat angka-angka kaku?

Baca juga: Jalan Menuju Cahaya

Anak-anak tidak selalu salah. Banyak dari mereka datang ke sekolah dengan beban yang tidak terlihat: masalah keluarga, ekonomi, lingkungan, bahkan trauma. Lalu kita menilai mereka hanya dari lembar jawaban? Seakan lupa bahwa mereka manusia, bukan mesin penghasil angka.

Menjadi guru bukan hanya tentang mentransfer ilmu, tetapi tentang membangun manusia. Menyadarkan mereka bahwa mereka punya potensi. Bahwa kegagalan hari ini bukan akhir dari segalanya. Bahwa sekolah bukan tempat hukuman, tapi tempat pertumbuhan.

Mungkin sudah waktunya kita bertanya ulang: apa makna sesungguhnya dari hasil belajar?
Apakah hanya nilai rapor yang menentukan masa depan anak, atau justru sikap kita sebagai pendidik yang mampu membuka pintu masa depannya?

Karena pada akhirnya, rapor terbaik bukanlah yang penuh angka sempurna. Tapi yang ditulis dengan kejujuran, kasih sayang, dan harapan agar anak itu terus tumbuh menjadi manusia yang seutuhnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun