Setiap akhir semester, guru dihadapkan pada momen krusial: membagikan hasil belajar siswa, yang lebih kita kenal sebagai rapor. Sebuah lembaran kertas yang berisi angka-angka. Tampaknya sederhana, tetapi sesungguhnya menyimpan begitu banyak cerita. Di balik setiap angka, ada harapan, perjuangan, dan kadang---air mata.
Sebagai guru, saya sering terjebak dalam idealisme. Ingin menilai apa adanya, sesuai realitas kemampuan dan perilaku siswa. Namun realitas di lapangan berkata lain. Sistem penilaian sering kali mendorong kita untuk menyesuaikan nilai demi menjaga 'angka kelulusan', demi kenyamanan rapat dewan guru, atau agar tidak membuat 'masalah' dengan orang tua murid. Maka lahirlah nilai-nilai "kemanusiaan" atau dalam istilah populernya: pengkatrolan nilai.
Saya gelisah. Apakah ini yang disebut hasil belajar?
Ada murid yang pintar, sopan, dan penuh semangat---nilai akademiknya baik, akhlaknya pun mulia. Tidak ada masalah berarti dalam memberi nilai padanya. Tapi, bagaimana dengan mereka yang berada di ujung? Anak-anak yang nilai akademiknya rendah, sikapnya belum terbina, dan sering dianggap sebagai "beban kelas"? Nilainya pun mencerminkan hal itu---rendah, bahkan terancam tidak naik kelas.
Di sinilah letak dilema itu. Apakah saya, sebagai guru, akan menyerahkan mereka pada keputusan sidang yang kadang terasa seperti sidang vonis? Naik asal pindah sekolah? Atau tetap tinggal, tapi dengan luka harga diri yang makin menganga?
Saya bertanya dalam hati, apakah rapor hanya akumulasi nilai yang memenuhi kriteria penilaian tiap guru? Ataukah seharusnya ia menjadi potret utuh perkembangan seorang anak, dengan segala jatuh bangunnya?
Bukankah sejatinya sekolah adalah tempat menempa karakter, menumbuhkan minat dan bakat? Tapi mengapa justru banyak siswa kehilangan semangat, terkubur potensinya, karena hanya diukur lewat angka-angka kaku?
Anak-anak tidak selalu salah. Banyak dari mereka datang ke sekolah dengan beban yang tidak terlihat: masalah keluarga, ekonomi, lingkungan, bahkan trauma. Lalu kita menilai mereka hanya dari lembar jawaban? Seakan lupa bahwa mereka manusia, bukan mesin penghasil angka.
Menjadi guru bukan hanya tentang mentransfer ilmu, tetapi tentang membangun manusia. Menyadarkan mereka bahwa mereka punya potensi. Bahwa kegagalan hari ini bukan akhir dari segalanya. Bahwa sekolah bukan tempat hukuman, tapi tempat pertumbuhan.
Mungkin sudah waktunya kita bertanya ulang: apa makna sesungguhnya dari hasil belajar?
Apakah hanya nilai rapor yang menentukan masa depan anak, atau justru sikap kita sebagai pendidik yang mampu membuka pintu masa depannya?
Karena pada akhirnya, rapor terbaik bukanlah yang penuh angka sempurna. Tapi yang ditulis dengan kejujuran, kasih sayang, dan harapan agar anak itu terus tumbuh menjadi manusia yang seutuhnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI