Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Mini: Bayi dan Kantong Kresek Menangis

20 September 2020   10:24 Diperbarui: 20 September 2020   11:16 526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, Dokumentasi Pribadi

Baru saja mataku terpejam, ada suara  aneh di samping rumah. Kupasang teling  amat-amat. Berharap bunyi tersebut  melintas lagi. Rupanya hanya satu kali.  Hati ini berbisik, “Barangkali aku bermimpi.”  

Kantuk buyar. Tidurku putus tak bisa disambung lagi. Anganku melayang ke angkasa, malam terasa amat panjang. Tak biasanya aku begitu.

“Tandanya tubuhmu kelelahan. Hari ini biar saya saja yang jualan. Kamu di rumah saja, istirahat, tidur. Mengganti jam tidurmu tadi malam.  Uang tak akan dibawa mati,” kata suamiku.

Bukan lelah, Uda. Ada suara “sengeak”.  Mungkin ini pirasat kurang elok ,” bantahku.

Sengeak apo lo." (Sengeak apa pula).

“Ya, Sengeak. Hantu jadi-jadian  dari anak jadah itu. Persis kayak bayi nangis.”

“Ah. Itu pendapat orang kampung. Paling suara burung hantu di lubang pohon jambu.  Mana ada anak orok mati jadi sangeak. Bayi itu makhluk suci. Kalau dia meninggal, jaminannya surga..”

“Mosok anak hasil hubungan gelap masuk surga. Itu kan anak haram.”

“Hubungan gelap atau terang, tak ada bayi  haram. Yang haram itu perbuatan ibu bapaknya.”

Habis salat subuh,  suamiku berkemas mau ke warung  untuk  memulai aktivitasnya berjualan kelapa. Lokasinya di tengah kota. Lima belas  menit jalan kaki dari kediaman kami.  

Begitu pintu dibuka,  beliau kaget. Langkahnya surut ke belakang.  “Ada benda hitam di depan pintu,” bisiknya antara terdengar dan tidak.

Dadaku berdesir, hati ini bereaksi sigap, “Inikah jawaban dari kegelisahanku tadi malam?”

Antara takut dan berani, perlahan aku dan suamiku mendekat. Rupanya sebuah kantong kresek hitam.

Kusentuh sedikit dengan ujung kaki.

Benda ajaib itu bergerak. Kami kaget, mundur lagi ke belakang. Aku dan suamiku saling pandang. Hening beberapa detik.

Tiba-tiba kantong itu menangis, “Oaaak ... Oaaak .... Oaaak ....” 

Suamiku bertakbir panjang, “Allahu akbar.”  Ternyata isinya sesosok bayi  berbedung rapi, dibalut pakai selimut panas.

Kupeluk dia. Kubuka kain pembalutnya.  Bersamaan kami berujar,  “laki-laki.” Ganteng, rambutnya lebat kulitnya putih.

Aku dan suamiku tenggelam dalam perasaan masing-masing.

Mulai pagi itu, tangis bayi mewarnai rumah kami. Momen-momen yang sangat kami rindukan selama 15 tahun berumah tangga.

Aku dan suamiku tak peduli bayi itu keluar dari rahim siapa. Siapa bapaknya. Apakah hasil hubungan terlarang atau tidak. Kehadirannya membuat kami berbahagia tiada tara. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun