***
Kurang lebih dua jam berjalan kaki, Subur sampai di kampung halamannya, tanpa didampingi. Si kakek meneruskan petualanganya ke kampung lain.
Dari jalan raya, Subur melihat di rumahnya rame sekali. Rupanya di sana telah berkumpul kerabat dan sanak familinya. Dengan wajah ketakutan, Subur melapor kepada ibunya, "Mak ...! tadi malam saya tidur di rumah nenek."
"Ya Allah, Nak ...! Kemana kau tak pulang-pulang?" Ibunda Subur menggigil menahan marah. "Enaknya kau berbohong. Semalaman masyarakat satu kampung ini sibuk mencarimu ke mana-mana. Orang bilang kau ikut pengemis. Sudah dirunut oleh paman-pamanmu. Namun tiada yang tahu peminta itu bermalam dimana."
Subur bertafakur malu-malu.
Seisi rumah diam. Ada yang menunjukkan wajah kesedihan, ada pula yang senyum-senyum sengeng.
Tiba-tiba nenek Subur nongol dari belakang. Perlahan dia menghampiri cucu tersayangnya tersebut dan berkata, "Jangan dimarahi. Yang penting dia sudah pulang." Nenek pemakan sirih itu mengelus kepala Subur dengan lembut. Bertubi-tubi ciuman mendarat di kening dan lehernya. "Kau bau taik, Cung?" Si nenek menggerak-gerakkan lubang hidungnya, memantau di mana sumber wewangian itu.
"Sudah, mandi sana. Ganti bajumu! Tidak apa-apa. Anak laki-laki, harus jantan. Dia mau tahu bagaimana rasanya menjadi pengemis," timpal ayahanda Subur.
Lunglai kaki Subur melangkah, menuju sumur tempat mandi.
***
* Kata sapaan untuk kakek (Bahasa Minang)
Jambi, 11072018