Sumber Video : Milik Akun Pribadi Penulis
Suasana perjalanan di kereta api, kini terasa begitu berbeda.
Kereta Kutojaya Selatan yang ku tumpangi melaju tenang dari Kutoarjo menuju kampung halaman. Udara dingin dari AC menyelimuti sekeliling gerbong, membuat suasana yang nyaman. Tempat duduk ku sesuai pesanan, jendela besar di samping kiri, dan rak bagasi diatas kepala. Tak ada pedagang yang berlalu-lalang menjajakan makanan ataupun minuman. Semua tertib, bersih, nyaman seperti yang dijanjikan KAI Angkutan Lebaran 2025.
Namun, entah mengapa jauh di relung hatiku terasa begitu kosong.
Bayangan mudik bertahun-tahun lalu perlahan muncul. Aku masih kecil saat itu, mungkin masih duduk di kelas dua SD. Saat kereta ekonomi penuh sesak, orang-orang berdiri bahkan duduk di lorong. Pedagang berseru-seru menjajakan gorengan, minuman dingin, dan mainan anak-anak. Suaranya bersaing dengan deru roda dan rel kereta. Tapi anehnya, semuanya itu menjadi kenangan indah masa kecilku..
Waktu itu naik kereta seperti lomba lari, siapa cepat dia yang dapat. Karena kami kalah cepat, aku hanya bisa duduk di pangkuan bapak. Tubuhnya yang kekar dan sembada begitu hangat untuk menjadi sandaran yang paling nyaman. Ia memelukku erat, membiarkan aku tertidur meski tubuhnya sendiri pegal tak karuan. Ia akan menarik ujung jaket lusuhnya, menyelimuti tubuh kecilku.Â
Kadang aku tertidur, dan kadang aku terbangun karena dorongan penumpang lain yang lewat. Tapi selama itu, bapak tak pernah mengeluh. Ia hanya mengusap kepalaku dan berkata, "Tidur saja neng, nanti neng bangun kita sudah sampai di stasiun terakhir." Kalimat itu, sederhana, tapi selalu berhasil membuatku tenang.Â
Namun kini, di kursi kereta yang empuk ini, tak ada lagi pangkuan hangat itu.
Tak ada lagi tangan bapak yang mengusap rambutku. Tak ada lagi suara serak khasnya saat memanggil pedagang untuk membelikan mainan kecil untukku. Tak ada tawanya saat aku riang kegirangan naik kereta yang selalu difavoritkan. Sudah setahun bapak pergi, tapi kenangan tentangnya tak pernah benar-benar pergi.
Dan sejak itu, perjalanan tak pernah benar-benar sama.
Pemandangan di luar jendela mungkin masih bisa sama, sawah yang hijau, perkampungan kecil yang sesekali melintas, dan stasiun-stasiun kecil tempat kereta berhenti sebentar. Tapi di dalam diriku, ada ruang yang tak bisa terisi. Sebuah kursi kosong, tapi bukan di gerbong ini melainkan di gerbong kenangan yang tak bisa ku ulang.
Ketika ku menatap bangku kosong di seberang, tiba-tiba di otakku membayangkan bapak duduk di sana, tersenyum dan melambaikan tangannya kepadaku. "Bapak, engkau benar-benar sudah pulang," bisikku pelan, menahan air mata.
Kereta ini tetap melaju, kampung halaman semakin mendekat. Tapi yang tertinggal akan selalu tertinggal, kenangan yang tak bisa dibeli dengan tiket, dan tak bisa direservasi lewat aplikasi. Kenangan yang hanya bisa dihidupkan kembali lewat hati anakmu yang selalu merindu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI