Pernahkah kita berpikir bahwa pendidikan bermutu itu bukan soal siapa yang tercepat membaca, siapa yang paling banyak hafalan, atau siapa yang ranking satu di kelas? Pengalaman saya sebagai guru pengganti BK sekaligus guru privat membuat saya percaya, pendidikan bermutu justru lahir dari kemampuan kita memahami keunikan setiap anak.
Saya belajar itu dari dua murid kecil saya. Keduanya sama-sama memiliki kecenderungan disleksia, tetapi dengan kelebihan yang berbeda. Mereka yang sering dipandang "bermasalah" dalam akademik, justru mengajarkan saya makna pendidikan yang sesungguhnya: Pendidikan Bermutu untuk Semua adalah pendidikan yang menumbuhkan potensi anak, agar siap hadapi tantangan abad 21.
Ketika Puzzle Menjadi Jembatan
Delapan tahun lalu, ketika saya masih kuliah, saya mendampingi seorang anak laki-laki kelas 2 SD bernama Rio (nama disamarkan). Ia mengalami disleksia: membaca adalah momok, mengeja jadi hal paling sulit.
Setiap kali melihat buku, ia cepat putus asa. Tetapi saya menemukan satu hal: ia begitu cepat memahami angka. Matematika adalah kesukaan baginya.
Dari situ saya mulai mencoba pendekatan multisensori. Metode yang saya terapkan:
- Puzzle Huruf - Rio belajar mengenal bentuk huruf dengan menyusun puzzle. Tangannya bergerak, matanya melihat, dan otaknya memproses bentuk.
- Metode Fonik - Mengeja per huruf dulu, baru membentuk suku kata. "B-A, BA... T-U, TU... BATU!"
- Gerakan Tubuh - Setiap huruf punya gerakan khusus. Huruf "S" seperti ular, "O" seperti bola.
Awalnya tertatih, namun seiring waktu, ia mulai bisa membaca. Yang lebih berharga, kepercayaan dirinya tumbuh. Ia tidak lagi merasa "tertinggal", karena ternyata ada ruang di mana ia hebat: berhitung. Saya sadar, tugas pendidik bukan menyeragamkan, melainkan menemukan pintu masuk yang tepat.
Imajinasi, Lego, dan Dongeng yang Membuka Dunia
Waktu berlalu. Tahun ini, saya kembali bertemu anak disleksia lain bernama Dika (nama disamarkan). Sama-sama kelas 2 SD, tapi karakternya berbeda. Ia kesulitan mengeja, sulit fokus, mudah terdistraksi. Matanya sering melayang ke langit-langit, seolah sedang berkelana dalam imajinasi tak bertepi.
Di era sekarang, tantangan anak disleksia semakin berat. Distraksi digital di mana-mana, sementara mereka memang sudah memiliki kesulitan fokus. Tapi saya juga menemukan bahwa era digital bisa jadi kawan, bukan lawan.
Saya perhatikan, ia sangat suka menggambar dan menyusun lego. Dari sana saya mencoba metode multisensori lagi, seperti dulu. Kali ini saya padukan dengan dongeng. Saat saya bercerita, ia masuk ke dunia khayalan. Kadang setelah mendengar dongeng, ia menggambarkan tokoh-tokohnya di kertas. Imajinasi itu hidup dan nyata.