Anak ini mungkin sedikit terlambat dalam membaca, tetapi cepat sekali dalam membangun sesuatu. Lego-legonya bertransformasi jadi rumah, bahkan "mesin masa depan" yang ia ciptakan sendiri. Saya kagum: pikirannya kaya, imajinasinya out of the box, dan penuh daya cipta.
Apa yang Saya Pelajari dari Anak Disleksia
Berdasarkan pengalaman mendampingi dua anak disleksia di rentang waktu berbeda, saya melihat perubahan signifikan dalam tantangan dan peluang mereka.
Tantangan yang semakin kompleks:
- Sistem pendidikan yang masih menekankan kemampuan membaca cepat
- Distraksi digital yang makin banyak
- Tekanan sosial karena perbandingan dengan teman sebaya
- Kurangnya pemahaman guru dan orang tua tentang disleksia
Tapi juga peluang yang lebih besar:
- Teknologi assistive yang semakin canggih
- Kesadaran tentang neurodiversity yang meningkat
- Penelitian yang membuktikan anak disleksia punya kelebihan di bidang kreatif dan problem-solving
- Metode pembelajaran yang semakin variatif
Anak-anak seperti Rio dan Dika bukan anak bermasalah. Mereka hanya belajar dengan cara berbeda. Dan jika kita bisa memfasilitasi cara belajar mereka, potensi yang muncul luar biasa.
Inklusi sebagai Jalan Pendidikan Bermutu
Sayangnya, anak dengan disleksia sering dianggap "kurang cakap", "malas", atau "tidak antusias". Padahal, masalah mereka ada pada cara otak memproses huruf, bukan pada kecerdasan. Jika lingkungan tidak memahami, anak-anak ini bisa kehilangan rasa percaya diri. Maka ada beberapa hal penting:
1. Setiap Anak Unik. Tidak ada metode one-size-fits-all. Apa yang berhasil untuk Rio belum tentu cocok 100% untuk Dika. Kita harus fleksibel dan adaptif.
2. Kesabaran adalah Kunci. Progress anak disleksia tidak linear. Ada hari mereka cemerlang, ada hari mereka stuck. Konsistensi dan kesabaran guru/tutor sangat menentukan.
3. Kolaborasi dengan orang tua penting. Tanpa dukungan penuh orang tua di rumah, progress akan lambat. Edukasi kepada orang tua tentang disleksia sama pentingnya dengan mengajar anaknya.