Mohon tunggu...
E. Niama
E. Niama Mohon Tunggu... Psikologi dan Pendidikan | Tentor Akademik | Penulis Lepas | Pengamat Kehidupan dan Pendengar Cerita | Serta Seorang Intuitive Thinker

Pengamat kehidupan yang percaya pada kekuatan kata. Sebagai lulusan Psikologi dan tentor akademik, saya terbiasa membaca dinamika manusia dari berbagai sisi. Menulis bagi saya adalah ruang kontemplasi sekaligus cara berbagi makna.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ketika Anak Disleksia Mengajarkan Tentang Arti Pendidikan Bermutu

24 September 2025   08:05 Diperbarui: 24 September 2025   20:23 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Belajar inklusif: Pendidikan Bermutu, Siap Hadapi Tantangan Abad 21. Sumber: Pixabay @sasint

Pernahkah kita berpikir bahwa pendidikan bermutu itu bukan soal siapa yang tercepat membaca, siapa yang paling banyak hafalan, atau siapa yang ranking satu di kelas? Pengalaman saya sebagai guru pengganti BK sekaligus guru privat membuat saya percaya, pendidikan bermutu justru lahir dari kemampuan kita memahami keunikan setiap anak.

Saya belajar itu dari dua murid kecil saya. Keduanya sama-sama memiliki kecenderungan disleksia, tetapi dengan kelebihan yang berbeda. Mereka yang sering dipandang "bermasalah" dalam akademik, justru mengajarkan saya makna pendidikan yang sesungguhnya: Pendidikan Bermutu untuk Semua adalah pendidikan yang menumbuhkan potensi anak, agar siap hadapi tantangan abad 21.

Ketika Puzzle Menjadi Jembatan

Delapan tahun lalu, ketika saya masih kuliah, saya mendampingi seorang anak laki-laki kelas 2 SD bernama Rio (nama disamarkan). Ia mengalami disleksia: membaca adalah momok, mengeja jadi hal paling sulit.

Setiap kali melihat buku, ia cepat putus asa. Tetapi saya menemukan satu hal: ia begitu cepat memahami angka. Matematika adalah kesukaan baginya.

Dari situ saya mulai mencoba pendekatan multisensori. Metode yang saya terapkan:

  1. Puzzle Huruf - Rio belajar mengenal bentuk huruf dengan menyusun puzzle. Tangannya bergerak, matanya melihat, dan otaknya memproses bentuk.
  2. Metode Fonik - Mengeja per huruf dulu, baru membentuk suku kata. "B-A, BA... T-U, TU... BATU!"
  3. Gerakan Tubuh - Setiap huruf punya gerakan khusus. Huruf "S" seperti ular, "O" seperti bola.

Awalnya tertatih, namun seiring waktu, ia mulai bisa membaca. Yang lebih berharga, kepercayaan dirinya tumbuh. Ia tidak lagi merasa "tertinggal", karena ternyata ada ruang di mana ia hebat: berhitung. Saya sadar, tugas pendidik bukan menyeragamkan, melainkan menemukan pintu masuk yang tepat.

Art Therapy  pendekatan terapi menggunakan seni visual, termasuk menggambar dan mewarnai, untuk membantu anak mengekspresikan diri. Sumb: dok.pribadi
Art Therapy  pendekatan terapi menggunakan seni visual, termasuk menggambar dan mewarnai, untuk membantu anak mengekspresikan diri. Sumb: dok.pribadi

Imajinasi, Lego, dan Dongeng yang Membuka Dunia

Waktu berlalu. Tahun ini, saya kembali bertemu anak disleksia lain bernama Dika (nama disamarkan). Sama-sama kelas 2 SD, tapi karakternya berbeda. Ia kesulitan mengeja, sulit fokus, mudah terdistraksi. Matanya sering melayang ke langit-langit, seolah sedang berkelana dalam imajinasi tak bertepi.

Di era sekarang, tantangan anak disleksia semakin berat. Distraksi digital di mana-mana, sementara mereka memang sudah memiliki kesulitan fokus. Tapi saya juga menemukan bahwa era digital bisa jadi kawan, bukan lawan.

Saya perhatikan, ia sangat suka menggambar dan menyusun lego. Dari sana saya mencoba metode multisensori lagi, seperti dulu. Kali ini saya padukan dengan dongeng. Saat saya bercerita, ia masuk ke dunia khayalan. Kadang setelah mendengar dongeng, ia menggambarkan tokoh-tokohnya di kertas. Imajinasi itu hidup dan nyata.

Anak ini mungkin sedikit terlambat dalam membaca, tetapi cepat sekali dalam membangun sesuatu. Lego-legonya bertransformasi jadi rumah, bahkan "mesin masa depan" yang ia ciptakan sendiri. Saya kagum: pikirannya kaya, imajinasinya out of the box, dan penuh daya cipta.

Metode Multisensori dengan puzzle huruf acak dg belajar menyusun kalimat, berguna menyeimbangkan visual, dan motorik. Sumber: Dok. Pribadi
Metode Multisensori dengan puzzle huruf acak dg belajar menyusun kalimat, berguna menyeimbangkan visual, dan motorik. Sumber: Dok. Pribadi

Storytelling + menggambar: cara seru anak memahami dan mengekspresikan cerita (Setiap kata dikaitkan dengan gambar buatan sendiri)
Storytelling + menggambar: cara seru anak memahami dan mengekspresikan cerita (Setiap kata dikaitkan dengan gambar buatan sendiri)

Apa yang Saya Pelajari dari Anak Disleksia

Berdasarkan pengalaman mendampingi dua anak disleksia di rentang waktu berbeda, saya melihat perubahan signifikan dalam tantangan dan peluang mereka.

Tantangan yang semakin kompleks:

  • Sistem pendidikan yang masih menekankan kemampuan membaca cepat
  • Distraksi digital yang makin banyak
  • Tekanan sosial karena perbandingan dengan teman sebaya
  • Kurangnya pemahaman guru dan orang tua tentang disleksia

Tapi juga peluang yang lebih besar:

  • Teknologi assistive yang semakin canggih
  • Kesadaran tentang neurodiversity yang meningkat
  • Penelitian yang membuktikan anak disleksia punya kelebihan di bidang kreatif dan problem-solving
  • Metode pembelajaran yang semakin variatif

Anak-anak seperti Rio dan Dika bukan anak bermasalah. Mereka hanya belajar dengan cara berbeda. Dan jika kita bisa memfasilitasi cara belajar mereka, potensi yang muncul luar biasa.

Inklusi sebagai Jalan Pendidikan Bermutu

Sayangnya, anak dengan disleksia sering dianggap "kurang cakap", "malas", atau "tidak antusias". Padahal, masalah mereka ada pada cara otak memproses huruf, bukan pada kecerdasan. Jika lingkungan tidak memahami, anak-anak ini bisa kehilangan rasa percaya diri. Maka ada beberapa hal penting:

1. Setiap Anak Unik. Tidak ada metode one-size-fits-all. Apa yang berhasil untuk Rio belum tentu cocok 100% untuk Dika. Kita harus fleksibel dan adaptif.

2. Kesabaran adalah Kunci. Progress anak disleksia tidak linear. Ada hari mereka cemerlang, ada hari mereka stuck. Konsistensi dan kesabaran guru/tutor sangat menentukan.

3. Kolaborasi dengan orang tua penting. Tanpa dukungan penuh orang tua di rumah, progress akan lambat. Edukasi kepada orang tua tentang disleksia sama pentingnya dengan mengajar anaknya.

4. Rayakan setiap kemajuan kecil. Satu kalimat yang berhasil dibaca lancar, satu gambar yang selesai dengan rapi semua patut dirayakan. Bagi anak, apresiasi kecil itu menjadi bahan bakar untuk terus mencoba.

5. Lihat Potensi, Bukan Kekurangan. Rio tangkas di kemampuan numeriknya, sedangkan Dika dengan kemampuan menggambarnya yang luar biasa berpotensi jadi ilustrator handal suatu hari nanti.

Mempersiapkan Anak Disleksia untuk Abad 21

Abad 21 adalah era yang menghargai creativity, critical thinking, dan innovation. Menariknya, penelitian menunjukkan bahwa anak-anak disleksia sering unggul dalam hal-hal ini. Mereka terbiasa berpikir out-of-the-box karena cara belajar mereka memang berbeda.

Yang perlu kita lakukan:

  • Identifikasi dini agar pendampingan bisa segera dilakukan.
  • Menyediakan cara belajar yang sesuai, bukan menyeragamkan.
  • Memanfaatkan teknologi dengan bijak, sebagai penolong, bukan pengalih perhatian.
  • Mengubah cara pandang, dari "anak bermasalah" menjadi "anak dengan kebutuhan belajar berbeda"

Disleksia sebagai Superkraft Tersembunyi

Menariknya, banyak tokoh dunia yang mengalami disleksia justru menjadi inovator besar karena cara berpikir mereka yang unik:

  • Steven Spielberg sutradara pemenang Oscar dan juga pembuat film terkenal seperti Jurasic Park, Schindler's List, Saving Privat Ryan, menyadari disleksiannya di usia 60 tahun dan berkata: "Kalau saya tidak disleksia, mungkin saya tidak akan jadi sutradara. Disleksia memaksa saya berpikir dalam gambar bergerak."
  • Albert Einstein kesulitan membaca saat kecil, namun brilian dalam konsep sains
  • Agatha Christie mengandalkan dikte untuk menulis novel-novel misteri yang fenomenal

Profesi masa depan justru sangat membutuhkan kemampuan yang dimiliki anak disleksia:

  • Arsitek dan desainer: butuh kemampuan visual-spatial yang kuat
  • Animator dan filmmaker: perlu imajinasi visual yang hidup
  • Game developer: memerlukan pemikiran out-of-the-box
  • Entrepreneur: butuh kreativitas dalam memecahkan masalah

Refleksi: Definisi Sesungguhnya Pendidikan Bermutu Untuk Abad 21

Pendidikan Bermutu sejatinya bukan tentang mencetak anak-anak dengan kemampuan seragam. Tapi tentang membantu setiap anak mencapai potensi maksimalnya, dengan cara yang paling sesuai untuk mereka.

Ketika Rio bisa membaca pertama kalinya, atau ketika Dika berhasil menyelesaikan satu paragraf tanpa teralihkan, itu adalah kemenangan yang sesungguhnya. Bukan karena mereka jadi "normal," tapi karena mereka menemukan cara mereka sendiri untuk belajar dan berkembang.

Di sinilah makna Siap Hadapi Tantangan Abad 21 yang sesungguhnya. Bukan hanya tentang penguasaan teknologi atau nilai akademis tinggi, tapi tentang resilience (ketahanan), adaptability (Adaptif), dan self-confidence (percaya diri) untuk terus belajar dengan cara mereka masing-masing.

Setiap anak berhak mendapat pendidikan yang menghargai keunikan mereka. Dan sebagai pendidik, tugas kita adalah memastikan tidak ada anak yang tertinggal, termasuk mereka yang belajar dengan cara berbeda.

Karena sesungguhnya, tidak ada anak yang kurang pintar. Yang ada hanyalah metode pembelajaran yang belum tepat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun