"Di setiap kelas, selalu ada siswa yang cenderung pendiam, jarang bersuara, dan lebih suka berbaur dalam diam. Karena tidak banyak menimbulkan masalah dan tidak mencolok, tipe siswa seperti ini kerap luput dari perhatian guru. Tapi, benarkah aman jika guru membiarkan siswa pendiam di kelas terus berada di balik bayang-bayang?"
Guru pasti akan menemukan beragam karakter siswa dalam satu kelas. Ada yang aktif menjawab pertanyaan, ada yang suka bercanda, ada juga yang tingkahnya aktif dan suka gaduh, ada pula yang tampak menonjol dengan prestasi akademiknya. Namun, dibalik itu semua ada juga tipe siswa yang sering luput dari perhatian: yakni siswa pendiam. Mereka hadir, duduk tenang, mengerjakan tugas sesuai aturan, tapi jarang sekali mengangkat tangan atau bersuara.
Banyak guru merasa aman dengan tipe siswa seperti ini. Tidak ribut, tidak membuat masalah, tidak "menyita energi". Namun, di balik diamnya, ada potensi bahaya ketika keberadaan mereka terus-menerus diabaikan. Diam bukan berarti baik-baik saja. Justru di sanalah letak masalahnya: sering kali guru, bahkan teman sebaya, gagal membaca suara hati mereka.
Diam Bukan Berarti Tidak Punya Suara
Siswa pendiam sering disalahpahami. Mereka dianggap "anak baik" hanya karena tidak menimbulkan kegaduhan. Padahal, bisa jadi ada banyak hal yang ingin mereka sampaikan, hanya saja tidak menemukan ruang atau keberanian untuk mengungkapkannya.
Bayangkan jika seorang anak sebenarnya punya segudang ide, pertanyaan, atau bahkan kebingungan, tapi tidak pernah disuarakan karena merasa malu, canggung, takut atau salah. Lama-kelamaan, mereka bisa terbiasa untuk memendam, hingga membangun keyakinan keliru bahwa suara mereka memang tidak penting. Dan mereka merasa hanya siswa biasa saja yang tidak menonjol.
Risiko Terpinggirkan dari Perhatian Guru
Dalam praktik sehari-hari, guru biasanya memberi atensi lebih kepada siswa yang aktif bertanya dan unggul dalam akademik, atau bisa sebaliknya. Guru memberikan perhatian lebih pada siswa yang bermasalah dalam perilaku. Dua kutub ini sama-sama menarik energi. Nah, siswa pendiam berada di wilayah tengah yang "nyaman" ya tidak merepotkan, tidak menonjol, cenderung biasa saja dan tidak apa-apa. Hasilnya, mereka sering tak terjamah perhatian personal dari guru.
Kondisi ini berbahaya. Karena dalam jangka panjang, anak bisa merasa keberadaannya tidak berarti. Ia hadir, tapi seakan-akan tidak pernah benar-benar terlihat. Ini bisa berdampak pada harga diri (self-esteem) yang rendah, dan bahkan memengaruhi motivasi belajar.
Potensi yang Terkubur
Salah satu kerugian terbesar ketika siswa pendiam diabaikan adalah hilangnya kesempatan menemukan potensi tersembunyi. Tidak sedikit anak pendiam yang sebenarnya punya ide cemerlang, bakat menulis, menggambar, atau kepekaan sosial yang tinggi. Namun karena tidak terlalu begitu diperhatikan, bakat itu terkubur begitu saja.
Dampak Akademis:
Dampak lainnya pada siswa pendiam dan kurang perhatian dari guru, berpengaruh ke akademis. Kurangnya partisipasi dan interaksi siswa pendiam di kelas sering disalahartikan bahwa dia kurang minat atau motivasi belajar. Siswa pendiam cenderung tidak bertanya saat mereka tidak mengerti materi, yang secara langsung berdampak pada penguasaan materi pelajaran. Dan di beberapa kasus siswa pendiam sebenarnya juga tidak nyaman dengan kondisi kelas yang gaduh namun tidak disuarakan, sehingga hal ini sedikit banyak berpengaruh ke pemahaman belajarnya.
 Dampak Psikologis Jangka Panjang
Pengabaian secara langsung menurunkan kepercayaan diri dan harga diri siswa. Ketika siswa tidak diberi kesempatan untuk berpartisipasi atau merasa suaranya tidak penting, mereka mulai meyakini bahwa mereka tidak mampu dan tidak berharga. Kondisi ini juga bisa makin rumit untuk siswa pendiam dan semakin terpinggirkan dikelas apabila teman-temannya cenderung enggan berbaur dan mengucilkannya karena dianggap tidak asyik.
Mengapa Siswa Pendiam Mudah Terabaikan
1. Â Bias Perhatian Guru
Secara alami, guru cenderung memberikan perhatian lebih pada siswa yang lebih vocal baik yang aktif bertanya maupun yang membuat gaduh. Siswa pendiam, karena tidak mengganggu dan tidak menuntut perhatian, sering dianggap "baik-baik saja."
2. Keterbatasan Waktu dan Rasio Guru-Siswa
Dengan jumlah siswa yang banyak dan waktu terbatas, guru sering kesulitan memberikan perhatian individual kepada setiap siswa. Bayangkan system Pendidikan di Indonesia masih banyak ditemukan dimana 1 guru menghandle 29-40 siswa per kelas. Otomatis guru cenderung fokus pada siswa mana yang terlihat aktif dan mudah nangkap apa yang diajarkan.
Kurikulum yang padat dan target pembelajaran yang ketat juga berkontribusi pada masalah ini. Guru sering merasa tertekan untuk menyelesaikan materi sesuai jadwal, sehingga tidak memiliki waktu cukup untuk mengakomodasi kebutuhan individual siswa atau tidak bisa mengecek dan mengajari satu persatu siswa.