Banyak orangtua percaya: makanan rumahan pasti lebih sehat daripada jajan. Keyakinan itu intuitif, bahan tampak asli, proses lebih "bersih", dan rasa 'ibu' memberi nilai lebih.
 Tetapi kenyataan tidak selalu sejalan: praktik olah, bahan pelengkap, dan pola porsi di dapur rumah tangga dapat mengubah masakan rumah menjadi faktor risiko penyakit kronis.Â
Dari gula berlebih hingga minyak yang dipakai berulang, bukti ilmiah menunjukkan hubungan antara pola konsumsi (termasuk makanan rumahan yang dimodifikasi dengan bahan olahan) dan meningkatnya obesitas serta diabetes pada anak dan remaja.Â
1. Gula berlebih, "Manis" yang berbahaya
Bukan hanya kue pabrikan: teh manis, sirup, selai, nasi uduk manis, dan camilan rumahan sering menambah jumlah gula bebas (free sugars) yang sebenarnya harus dibatasi.Â
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan asupan gula bebas <10% total energi, dan idealnya <5% (~25 gram atau 6 sendok teh) per hari untuk manfaat kesehatan tambahan.Â
Konsumsi gula yang kronis berkontribusi pada kelebihan energi, kenaikan berat badan dan risiko diabetes tipe 2 yang meningkat sejak usia muda.Â
2. Bumbu instan dan bahan, olahan (ultra-processed), praktis tapi bersisi risiko
Penggunaan bumbu instan, penyedap jadi, dan bahan setengah jadi membuat masak lebih cepat, tetapi banyak produk ini mengandung natrium, lemak jenuh, dan aditif yang dikaitkan dengan konsumsi makanan ultra-processed.Â
Konsumsi tinggi makanan ultra-processed berhubungan dengan obesitas dan gangguan metabolik, terutama pada anak yang sistem reward makannya sensitif terhadap rasa kuat (manis, gurih).Â