Sebelum bazar dibuka, Brian minta izin pulang sebentar. Di kamar, ia menatap Si Hebat. Kapal itu sudah gemuk; perutnya terdengar seperti hujan koin di atap seng. Dengan hati-hati, ia membuka penutup kecil di bawahnya. Koin-koin menggelinding ke tangan, dingin tapi bersinar.
Ia menghitung. Cukup. Mungkin bukan untuk membeli segalanya, tapi cukup untuk memulai sesuatu.
Ia berlari kembali ke sekolah, singgah ke kios buku di ujung gang. Memilih beberapa cerita rakyat, satu ensiklopedia mini tentang hewan, dua buku bergambar tentang sayur dan buah.
Pedagangnya tersenyum, “Untuk adik ya?” Brian mengangguk. Ya, adik-adik sekelasnya, pikirnya.
Di stand buku, Brian menata belanjaannya. Ia menulis dengan spidol: POJOK BACA;Baca Gratis, Boleh Pinjam Bergiliran. Sari menatap tulisan itu, matanya berbinar. “Serius ini?” “Serius,” kata Brian. “Kamu yang pertama.”
Orang-orang berdatangan. Ada yang menimbang bayam, ada yang memeriksa tensi, bertanya menu sehat. Anak-anak berkerumun di stand Brian.
Dodo duduk lesehan, membuka buku hewan. “Ternyata lidah jerapah warnanya gelap,” gumamnya. Sari tertawa. “Biar nggak kepanasan.” Anak-anak lain mengangguk-angguk, setuju meski belum tentu paham.
Pak Guru mendekat, menatap buku-buku itu, menatap Brian. “Ini dari siapa?” tanyanya lembut.
“Dari kapal saya, Pak,” jawab Brian. “Dari uang jajan yang tidak jadi dijajan.” Ada jeda sebentar, seolah kata-katanya butuh kursi untuk duduk. Lalu tepuk tangan pecah, bukan gegap gempita, tapi hangat seperti selimut flanel.
“Brian,” kata Pak guru, suaranya sedikit bergetar, “kamu sudah mengikat tujuh kebiasaan baik dengan satu tali: konsisten. Kamu bangun pagi, beribadah, kamu olahraga, kamu makan sehat, kamu belajar, kamu hadir untuk lingkunganmu, dan kamu menjaga dirimu dengan tidur cukup. Kapalmu berlayar karena angin itu.”
Brian menunduk, bukan karena malu, melainkan karena dadanya terlalu penuh untuk menampung bangga.