Di sepasang mata langit yang retak,
kupintal sunyi jadi selimut luka,
sebab bumi tak lagi menggendong doa,
hanya menyisakan debu dari nama-nama yang gugur.
Waktu menyembunyikan gigilnya
di balik jam-jam yang pura-pura sabar,
sementara langkah-langkah
mengenakan topeng arah yang kehilangan utara.
Dunia bukan ibu,
ia rahang;
mengunyah mimpi dengan taring diam-diam,
menyeka harap pakai bayang
dan menggantungnya di tiang senja.
Kita lahir dari rahim gelap,
dibuai tangis
yang tak pernah sempat jadi suara.
Kita berjalan bukan dengan kaki,
melainkan dengan sisa-sisa nyala
yang disulut dari puing keberanian.
Burung pun kini kehilangan langit,
mereka menulis alamat di pasir,
dan tiap gelombang
adalah penghapus sejarah
yang enggan mengingat asal mula.
Dan aku
adalah sisa kabut
dari bait yang tak pernah rampung,
menyusup ke sela-sela malam
untuk menenangkan nyeri
yang disimpan bintang paling sunyi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI