Di sehelai senja yang layu,
angin menggulung nyawa dari daun terakhir
yang enggan jatuh namun telah ditakar takdir,
berbisik lirih pada rerumput
tentang sunyi yang tak pernah pulang.
Langit, seperti mata ibu yang tak lagi berkedip,
menyulam kabut jadi kafan tak kasat,
dan bumi membuka rahimnya
bukan untuk melahirkan,
melainkan menyambut
sepi yang kembali dengan tangan terkulai.
Ada nama yang mengendap di dada langit,
tak lagi dipanggil,
hanya dikenang oleh desir angin
yang berkeliling ke batu-batu nisan
dengan puisi tak bersuara.
Waktu tak mati, hanya mengganti baju
dari jam pasir ke debu
dari denyut ke diam,
dan kita
seperti burung malam,
terbang rendah mencari
bayangan kita sendiri di sungai kematian.
Andai kelak tiba saat angin menjemput,
biarlah kami rebah
dalam wangi iman yang tak tercemar,
ditimang cahaya yang lahir dari amal
meski tak sempurna,
cukup untuk mengetuk gerbang ampunan
dengan tangan tak menggenggam dunia.
Ya Rabb,
jadikan maut bukan gerbang duka,
melainkan pintu pulang yang ditunggu-tunggu
oleh jiwa yang rindu sujud paling sunyi,
oleh raga yang letih menakar dosa
dan tak lagi ingin mengukur dunia.
Untukmu yang membaca,
jangan tunggu remang jatuh ke mata
baru mengingat sajadah di pojok sunyi.
Jangan tunggu nanti saat tubuh tinggal nama,
baru menyesali waktu yang tak pernah cukup.
Sebab kematian tak membawa bel
hanya datang dan menggugurkan.
Siapkan bekal seperti kau siapkan baju terbaik,
untuk hari pesta yang tak pernah kau tahu
tanggal undangannya.
Mungkin esok. Mungkin nanti. Kapan pun itu harapannya hanya satu, "Khusnul Khatimah"
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI