Telah lahir ia---
dalam senyap doa yang tak sempat lengkap
dan air mata yang gugur
di antara syukur dan gugup
Bukan hujan, bukan pula musim semi,
ia datang seperti petir di langit kemarau:
menggetarkan akar harapan,
meruntuhkan rencana-rencana kecil
yang telah lama dijahit dalam diam
Mereka bilang:
"Maaf, anak Anda berbeda!"
Dan seketika, dunia berubah arah
Tidak ada peta yang bisa dibaca,
hanya jejak-jejak samar di tanah luka
yang harus dijejaki dengan ragu dan tangis
Malam tak lagi sunyi,
sebab sunyi kini bersuara
bernama tanya,
bernama takut,
bernama salah diri sendiri
Aku---yang disebut orang tua---
belajar mencintai bukan dari kebanggaan,
tapi dari kehilangan:
kehilangan ekspektasi,
kehilangan sorak tepuk tangan,
kehilangan kalimat-kalimat sederhana seperti
"Anakmu hebat!"
"Kapan dia bisa membaca?"
"Kenapa dia tidak bicara?"
Ah, lidah-lidah itu
tajam tak bertepi,
mereka menusuk dengan senyum,
menghakimi dengan tanya basa-basi
yang membekas lebih lama dari luka operasi
Tapi waktu---
ia tidak pernah menawarkan pemahaman,
hanya pilihan:
hancur atau bertahan.
Dan aku memilih:
bertahan, walau sambil merangkak,
walau sambil menangis di balik pintu kamar,
walau sambil merelakan
dunia yang pernah kuciptakan
di dalam kepala
Hingga suatu hari,
aku melihatnya tertawa tanpa alasan,
menari dengan caranya sendiri,
memeluk dunia dalam diam
Dan di situlah,
aku mulai mengerti---
mereka tak datang untuk menyempurnakan,
mereka datang untuk menyadarkan.
Tentang cinta yang tak bersyarat,
tentang sabar yang bukan pilihan,
tentang harapan yang tak harus sempurna,
tentang surga yang tak selalu bising
dengan capaian dan ranking
Kini,
jika kau tanya siapa ia---
aku jawab:
bukan sekadar anakku.
Ia adalah cermin,
yang memantulkan segala ketidaksiapan
dan mengajarkanku menjadi manusia