Di beranda senja yang merunduk,
seorang lelaki melayangkan surat;Â
bukan ke tangan manusia,
tapi kepada langit yang luas dan tak terjamah.
Dia menghitung detak jam yang sunyi,
menakar waktu sebagai hutang yang belum terbayar,
seperti harap yang tak kunjung dibalas.
Langkahnya menyusuri lorong-lorong sepi,
mengetuk pintu-pintu tanpa nama,
mencari tempat di mana namanya
akan diucap sebagai jawaban,
bukan hanya bisu yang menggantung.
Tangan yang dulu kuat menggenggam mimpi,
kini memeluk kekosongan
seperti amplop cokelat tanpa isinya.
Ia bukan penganggur yang memilih diam,
melainkan pengembara tanpa peta,
berlayar di lautan ketidakpastian.
Orang-orang berbicara tentang nilai dan "passion,"
namun siapa yang mendengar perut yang bergemuruh
atau tanya kecil anak yang menunggu jawaban?
Malam datang membawa gelap,
dan ia berdoa dalam bahasa yang tak diajarkan sekolah,
dengan iman sepotong nasi sisa,
agar esok tetap bisa dimulai lagi.
Dan ketika bintang-bintang menutup jendela,
surat lamaran itu tetap terangkat,
bukan untuk dikirim,
melainkan untuk diyakini—
bahwa langit pun suatu saat akan membalas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI