Mohon tunggu...
Nuning Sapta Rahayu
Nuning Sapta Rahayu Mohon Tunggu... Guru Pendidikan Khusus/Penulis/Asesor/Narasumber

Guru Pendidikan khusus, Penulis Buku Panduan Guru Pengembangan Komunikasi Autis, aktivis pendidikan dan pecinta literasi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Antara Harga Tiket dan Harga Hati, Cerita Mudik Yang Tak Lekang Oleh Waktu

27 Maret 2025   06:00 Diperbarui: 27 Maret 2025   05:28 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Mudik (Sumber: freepik.com)

Cerita Mudik: Antara Angka dan Rasa

Setiap tahun, menjelang Lebaran, jutaan perantau di Indonesia menghadapi dilema yang sama: harga tiket yang melambung atau harga hati yang tak ternilai. 

Bagi mereka, pulang ke kampung halaman bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan emosional yang penuh makna. Saya sendiri sudah 15 tahun melakukan perjalanan mudik dengan kereta api. Setiap kali, ada cerita baru, ada perjuangan, ada rindu yang selalu sama.

Namun, di balik kemeriahan mudik, ada kisah perjuangan yang sering terlewat. Ada yang rela mengantre sejak subuh demi mendapatkan tiket, ada yang harus menyisihkan gaji berbulan-bulan, bahkan tak sedikit yang rela menggadaikan barang demi bisa pulang ke kampung halaman.

Berburu Tiket: Perjuangan yang Tak Pernah Usai

Dulu, mendapatkan tiket kereta api bukan perkara mudah. Saya masih ingat betapa harus antre panjang di loket, bersaing dengan ratusan orang lain yang memiliki tujuan sama. 

Kini, sistem sudah serba digital, namun drama berburu tiket tetap ada. Tiket bisa habis dalam hitungan menit, terutama untuk rute favorit seperti Jakarta-Surabaya, Jakarta-Tasikmalaya, atau Yogyakarta-Solo.

Banyak pemudik harus putar otak: mencari alternatif perjalanan, berburu tiket promo, atau bahkan memilih jalur darat yang lebih murah meski lebih lama. 

Bagi mereka, harga tiket yang mahal bukan penghalang, karena ada harga hati yang jauh lebih besar: keinginan untuk berkumpul dengan keluarga.

Ketika Pulang Menjadi Sebuah Perjuangan

Mudik bukan sekadar perjalanan, tetapi juga pengorbanan. Beberapa teman saya memilih bekerja lembur demi bisa mengumpulkan cukup uang untuk pulang. 

Ada yang harus memilih antara pulang sendiri atau membawa serta keluarga, karena biaya tiket untuk satu orang saja sudah cukup menguras kantong.

Bahkan ada kisah yang lebih menyentuh: seorang pemudik yang rela menggadaikan perhiasannya demi tiket pulang. 

Kisah ini mengingatkan saya pada pengalaman pribadi saat dulu harus menggadaikan emas demi membiayai pengobatan anak saya. Bagi banyak orang, mudik memang bukan sekadar perjalanan, tetapi wujud dari kerinduan yang harus diperjuangkan.

Mudik Tahun Lalu: Satu Gerbong dengan Masa Lalu

Mudik selalu penuh kejutan. Tahun lalu,karena sesuatu dan lain hal saya mudik belakangan, sementara suami dan anak sudah mudik duluan 2 hari sebelumnya.

Tanpa disengaja, saya duduk satu gerbong dengan seseorang yang dulu pernah mengisi hati saya. Ya, mantan pacar 16 tahun yang lalu. Awalnya, saya hanya menganggapnya sebagai pemudik lain, sampai akhirnya tatapan kami bertemu, dan waktu seakan mundur ke masa lalu.

Percakapan dimulai dengan basa-basi klasik: “Mudik ke mana?” lalu berkembang menjadi nostalgia tentang masa-masa dulu. Ada canggung, ada tawa, ada kenangan yang tiba-tiba menyeruak dari ingatan. 

Kami bercerita tentang hidup masing-masing, perjalanan yang telah ditempuh, dan bagaimana kehidupan membawa kami ke arah yang berbeda.

Siapa sangka, sebuah perjalanan mudik bisa menjadi ajang reuni tak terduga? Kereta yang melaju di atas rel seakan menjadi metafora perjalanan hidup. Kadang kita sejalan, kadang berpisah di stasiun berbeda. 

Ketika sampai di tujuan, kami hanya saling tersenyum dan mengucapkan selamat Lebaran. Lalu, masing-masing kembali ke kehidupan yang telah dipilih.

Tahun Ini: Rindu yang Harus Ditunda

Jika tahun lalu mudik membawa kisah pertemuan dengan orang di masa lalu, tahun ini justru sedikit diwarnai kekecewaan. 

Padatnya pekerjaan membuat kami baru bisa mudik di H-1 Lebaran. Ini bukan hanya soal harga tiket yang lebih mahal, tapi juga rasa sesak di dada karena kehilangan momen berharga bersama keluarga lebih awal.

Biasanya, saya sudah tiba di kampung halaman beberapa hari sebelum Lebaran, ikut membantu persiapan, bercengkerama dengan keluarga, dan merasakan hangatnya suasana menjelang hari raya. 

Tapi kali ini, saya hanya bisa membayangkan itu semua dari jauh, sambil menunggu hari keberangkatan yang terasa semakin lama.

Mudik di H-1 berarti melewati perjalanan yang lebih melelahkan, antrean yang lebih panjang, dan kemungkinan besar kondisi kereta yang lebih padat. 

Tapi bagaimanapun juga, saya tetap berusaha untuk pulang. Karena bagi saya, harga tiket mungkin bisa dinegosiasi, tapi harga hati, kerinduan untuk bertemu keluarga, tidak pernah bisa ditawar.

Suasana di Dalam Kereta: Lelah yang Dibayar dengan Bahagia

Setiap kali naik kereta saat mudik, selain keceriaan kami menikmati perjalanan, ada pemandangan khas yang selalu saya temui: penumpang yang saling berbagi cerita, anak-anak yang berlarian di lorong, ibu-ibu yang membawa rantang berisi makanan khas kampung. Suasana ini selalu menghadirkan kehangatan tersendiri.

Ada yang tertidur lelap di kursinya, ada yang sibuk melihat pemandangan dari balik jendela, ada pula yang asyik bercengkerama dengan penumpang lain. 

Dalam perjalanan panjang ini, orang-orang yang awalnya tak saling kenal bisa menjadi teman akrab. Perjalanan mudik selalu menghadirkan cerita yang berbeda setiap tahunnya.

Harga Tiket vs Harga Hati: Apa yang Lebih Berharga?

Setiap tahun, harga tiket mungkin mengalami kenaikan, tapi jumlah pemudik tak pernah berkurang. Ini membuktikan bahwa bagi banyak orang, pulang adalah kebutuhan emosional yang tak bisa diukur dengan uang. Ada harga hati yang jauh lebih berharga daripada angka di tiket.

Bagi saya, mudik adalah tentang merayakan kebersamaan, melepas rindu, dan kembali ke akar. Meski perjalanan panjang dan melelahkan, begitu kaki menginjak tanah kampung halaman dan melihat senyum keluarga yang menyambut di depan pintu, semua terasa lunas terbayar.

Di antara harga tiket yang terus naik dan harga hati yang tak ternilai, satu hal tetap sama: mudik selalu menjadi perjalanan pulang yang penuh makna. Itulah sedikit cerita mudik saya.

Semoga perjalanan mudik kami di H-1 serta perjalanan mudik para pembaca semuanya berjalan lancar, ceria dan berkesan sesuai harapan, aamiin...

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun