Jika tahun lalu mudik membawa kisah pertemuan dengan orang di masa lalu, tahun ini justru sedikit diwarnai kekecewaan.Â
Padatnya pekerjaan membuat kami baru bisa mudik di H-1 Lebaran. Ini bukan hanya soal harga tiket yang lebih mahal, tapi juga rasa sesak di dada karena kehilangan momen berharga bersama keluarga lebih awal.
Biasanya, saya sudah tiba di kampung halaman beberapa hari sebelum Lebaran, ikut membantu persiapan, bercengkerama dengan keluarga, dan merasakan hangatnya suasana menjelang hari raya.Â
Tapi kali ini, saya hanya bisa membayangkan itu semua dari jauh, sambil menunggu hari keberangkatan yang terasa semakin lama.
Mudik di H-1 berarti melewati perjalanan yang lebih melelahkan, antrean yang lebih panjang, dan kemungkinan besar kondisi kereta yang lebih padat.Â
Tapi bagaimanapun juga, saya tetap berusaha untuk pulang. Karena bagi saya, harga tiket mungkin bisa dinegosiasi, tapi harga hati, kerinduan untuk bertemu keluarga, tidak pernah bisa ditawar.
Suasana di Dalam Kereta: Lelah yang Dibayar dengan Bahagia
Setiap kali naik kereta saat mudik, selain keceriaan kami menikmati perjalanan, ada pemandangan khas yang selalu saya temui: penumpang yang saling berbagi cerita, anak-anak yang berlarian di lorong, ibu-ibu yang membawa rantang berisi makanan khas kampung. Suasana ini selalu menghadirkan kehangatan tersendiri.
Ada yang tertidur lelap di kursinya, ada yang sibuk melihat pemandangan dari balik jendela, ada pula yang asyik bercengkerama dengan penumpang lain.Â
Dalam perjalanan panjang ini, orang-orang yang awalnya tak saling kenal bisa menjadi teman akrab. Perjalanan mudik selalu menghadirkan cerita yang berbeda setiap tahunnya.
Harga Tiket vs Harga Hati: Apa yang Lebih Berharga?