Mohon tunggu...
I Nyoman Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen Kimia Undiksha - Hoby menanam anggur

Jalan jalan dan berkebun

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senyummu, Rembulan Tengah Malam

8 Oktober 2025   02:57 Diperbarui: 8 Oktober 2025   02:57 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : https://pendoasion.wordpress.com/

Malam turun pelan-pelan, seperti doa yang disusun oleh tangan lembut seorang biarawan. Udara terasa diam, namun hidup. Angin malam menyusup di antara tirai bambu, membawa aroma tanah basah dan wangi bunga kenanga yang jatuh dari pohonnya sendiri.

Di beranda rumah kayu itu, aku duduk sendirian. Tak ada suara, kecuali detak jam tua di dinding, dan detak jantungku sendiri yang tak sabar menunggu sesuatu yang tak dapat kusebutkan.

Dan kemudian, di tengah sunyi itu, engkau datang.
Tidak dengan langkah besar, tidak dengan suara salam yang lantang---hanya langkah kecil yang nyaris tidak terdengar. Namun dari kehadiranmu, udara seolah berubah.

Kau tersenyum.

Senyummu tak sebesar matahari, tapi cukup untuk membuat seluruh malam berhenti bergerak. Ada sesuatu di balik lengkung bibirmu yang sederhana itu---sesuatu yang tak bisa dijelaskan, hanya bisa dirasakan. Seperti air yang tak pernah menanyakan mengapa harus mengalir, ia hanya tahu bahwa diam bukan takdirnya.

Aku memandangi wajahmu yang diterangi rembulan. Cahaya perak itu menimpa rambutmu yang terurai, membuatmu tampak seperti bagian dari langit malam. Dalam sinar itu, aku tidak hanya melihatmu---aku melihat diriku sendiri yang lama hilang: versi diriku yang tenang, lembut, dan penuh syukur.

Engkau duduk di sebelahku, menatap ke arah sawah yang membentang di bawah bukit.
"Sunyi itu bukan kosong," katamu perlahan.
"Kadang, justru di sanalah Tuhan berbicara."

Aku diam. Kata-katamu sederhana, tapi masuk jauh ke dalam dada, seperti air yang menemukan retakan di tanah kering.

Selama ini aku terlalu sibuk mencari terang di luar, padahal mungkin, cahaya itu sudah menunggu di dalam.
Dan senyummu---seperti rembulan malam---membangkitkan asa yang nyaris mati.

Malam semakin dalam. Rembulan menggantung tinggi di langit timur, dan kabut mulai turun perlahan dari bukit. Aku memandangnya dengan mata yang terasa baru.
"Mengapa kamu selalu tersenyum?" tanyaku pelan.
Engkau menatapku sebentar, lalu tertawa lembut.
"Karena dunia ini terlalu indah untuk dilihat dengan wajah yang murung."

Lalu kau menambahkan, "Senyum bukan tanda segalanya baik. Ia tanda bahwa aku memilih berdamai dengan apa pun yang ada."

Kata-katamu menenangkan, tapi juga menusuk. Aku teringat masa-masa ketika aku kehilangan banyak hal---orang-orang, impian, bahkan diriku sendiri. Waktu itu, aku mencari penjelasan di segala tempat, tapi tak kutemukan. Mungkin karena aku tak berhenti berperang dengan kenyataan.

Kini aku paham. Kedamaian bukan datang karena hidup sempurna, tapi karena kita berhenti melawan.
Dan dari senyummu yang sederhana, aku belajar arti pasrah yang bukan menyerah, tapi menerima dengan penuh cinta.

Engkau memejamkan mata sejenak, seolah mendengarkan sesuatu yang tak bisa didengar oleh telinga.
"Dengar," bisikmu.
Aku ikut diam.
"Angin itu berdoa," lanjutmu. "Ia menyentuh wajah kita, tapi sebenarnya sedang mencium bumi."

Aku menatapmu lama, dan malam menjadi saksi betapa aku sedang belajar mencintai dengan cara yang lebih hening.
Cinta yang tidak menuntut hadir, tapi cukup mengetahui bahwa ia ada.

Di antara kabut dan cahaya rembulan itu, aku merasa seolah semesta ikut tersenyum. Semua hal yang dulu tampak besar kini mengecil, semua luka yang dulu dalam kini terasa ringan.

Kau menatapku lembut. "Jangan takut kehilangan," katamu. "Bahkan rembulan pun berani hilang setiap malam, karena tahu bahwa ia akan kembali utuh suatu waktu."

Aku menarik napas dalam-dalam. Kata-kata itu menembus jauh ke ruang hatiku yang selama ini kaku.
Dan aku sadar, selama ini aku takut redup.
Padahal, dalam redup itu justru ada ruang untuk menyala kembali.

Malam terus berjalan. Burung-burung malam mulai kembali ke sarangnya. Angin membawa suara gamelan dari pura di ujung desa, samar tapi sakral.
Engkau menatap langit, lalu berkata pelan, "Rembulan itu seperti jiwa manusia. Ia tak punya cahayanya sendiri, tapi memantulkan sinar matahari."
Aku mengangguk.
"Jadi jangan khawatir kalau kamu merasa gelap," lanjutmu. "Mungkin kamu hanya sedang menunggu cahayamu dipantulkan."

Aku menatapmu, ingin berkata sesuatu, tapi tak tahu harus mulai dari mana. Hanya dada ini yang terasa penuh---penuh dengan sesuatu yang tak bernama, tapi hangat.

Lalu aku sadar: begitulah cinta yang tenang bekerja. Ia tak berisik, tak menuntut, hanya ada---dan dari keberadaannya, hidup menjadi lebih ringan.

Engkau tersenyum lagi, dan di bawah sinar rembulan itu, aku hampir merasa seolah sedang berbicara dengan cahaya itu sendiri.

Waktu mengalir. Kita tak lagi berbicara.
Hanya duduk berdua, membiarkan malam mengajar kita dengan caranya sendiri.
Satu jam, dua jam, entah berapa lama. Tapi dalam diam itu, aku merasa telah menempuh perjalanan yang panjang: perjalanan dari resah menuju damai, dari haus menuju pasrah.

Akhirnya engkau berdiri.
"Aku harus pergi," katamu lembut.
Aku menatapmu, ada rasa enggan yang ingin menahan, tapi bibirku diam.

Sebelum melangkah, engkau menatap ke arahku sekali lagi.
"Teruslah tersenyum," ucapmu. "Bukan untuk menutupi luka, tapi untuk menyembuhkannya."

Lalu kau berjalan menuruni jalan setapak, langkahmu perlahan hilang di balik kabut.
Namun senyummu tertinggal di udara malam, seperti cahaya rembulan yang enggan padam.

Aku duduk lagi di beranda, memandangi langit.
Rembulan kini setengah tertutup awan, tapi tetap bercahaya. Dan di saat itu aku mengerti, bahwa cahaya sejati tidak butuh sempurna untuk tetap indah.

Aku menutup mata, dan di dalam keheningan itu aku mendengar doa yang lahir sendiri:
Terima kasih, Tuhan, karena telah mengirimkan rembulan dalam wujud manusia.

Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa, tapi ada sesuatu yang berubah di dalam diriku.
Setiap kali pagi datang, aku teringat senyum itu---senyum yang seperti mengajarkanku bagaimana cara berdamai dengan hidup.
Ketika hujan turun deras dan rencana berantakan, aku teringat suaramu: "Senyum bukan tanda bahagia, tapi tanda damai."

Aku mulai menulis lagi, bukan untuk mencari arti, tapi untuk bersyukur.
Dan setiap kali pena ini menyentuh kertas, aku seperti melihat rembulan di balik huruf-huruf yang kutulis.

Rembulan itu mungkin bukan kamu lagi, tapi cahayamu masih tinggal di hatiku.
Ia tidak pernah pergi, hanya berubah bentuk menjadi kesadaran: bahwa setiap manusia bisa menjadi rembulan bagi yang lain---memberi cahaya, tanpa harus menjadi matahari.

Beberapa bulan kemudian, aku kembali ke beranda itu.
Malamnya sama: tenang, lembut, dan beraroma tanah basah.
Aku menatap langit, mencari rembulan. Tapi malam itu gelap, hanya awan tebal yang berarak.

Namun aneh, aku tetap merasa diterangi.
Mungkin karena aku sudah menemukan rembulan itu di dalam diriku sendiri.

Dan di bawah langit tanpa bulan, aku tersenyum.
Bukan karena aku bahagia,
tetapi karena aku telah belajar arti kehadiran, kehilangan, dan keindahan dalam diam.

Malam tak lagi sunyi.
Ia berbicara dengan bahasa yang tak bersuara.
Dan di sanalah aku mengerti:
bahwa cinta sejati tidak selalu datang untuk tinggal---kadang ia datang hanya untuk menunjukkan bahwa cahaya itu pernah hidup dalam dirimu.

Dan itu sudah cukup.


"Senyummu telah menjadi doa yang tinggal di dadaku." rahayu ****

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun