Engkau tersenyum lagi, dan di bawah sinar rembulan itu, aku hampir merasa seolah sedang berbicara dengan cahaya itu sendiri.
Waktu mengalir. Kita tak lagi berbicara.
Hanya duduk berdua, membiarkan malam mengajar kita dengan caranya sendiri.
Satu jam, dua jam, entah berapa lama. Tapi dalam diam itu, aku merasa telah menempuh perjalanan yang panjang: perjalanan dari resah menuju damai, dari haus menuju pasrah.
Akhirnya engkau berdiri.
"Aku harus pergi," katamu lembut.
Aku menatapmu, ada rasa enggan yang ingin menahan, tapi bibirku diam.
Sebelum melangkah, engkau menatap ke arahku sekali lagi.
"Teruslah tersenyum," ucapmu. "Bukan untuk menutupi luka, tapi untuk menyembuhkannya."
Lalu kau berjalan menuruni jalan setapak, langkahmu perlahan hilang di balik kabut.
Namun senyummu tertinggal di udara malam, seperti cahaya rembulan yang enggan padam.
Aku duduk lagi di beranda, memandangi langit.
Rembulan kini setengah tertutup awan, tapi tetap bercahaya. Dan di saat itu aku mengerti, bahwa cahaya sejati tidak butuh sempurna untuk tetap indah.
Aku menutup mata, dan di dalam keheningan itu aku mendengar doa yang lahir sendiri:
Terima kasih, Tuhan, karena telah mengirimkan rembulan dalam wujud manusia.
Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa, tapi ada sesuatu yang berubah di dalam diriku.
Setiap kali pagi datang, aku teringat senyum itu---senyum yang seperti mengajarkanku bagaimana cara berdamai dengan hidup.
Ketika hujan turun deras dan rencana berantakan, aku teringat suaramu: "Senyum bukan tanda bahagia, tapi tanda damai."
Aku mulai menulis lagi, bukan untuk mencari arti, tapi untuk bersyukur.
Dan setiap kali pena ini menyentuh kertas, aku seperti melihat rembulan di balik huruf-huruf yang kutulis.
Rembulan itu mungkin bukan kamu lagi, tapi cahayamu masih tinggal di hatiku.
Ia tidak pernah pergi, hanya berubah bentuk menjadi kesadaran: bahwa setiap manusia bisa menjadi rembulan bagi yang lain---memberi cahaya, tanpa harus menjadi matahari.
Beberapa bulan kemudian, aku kembali ke beranda itu.
Malamnya sama: tenang, lembut, dan beraroma tanah basah.
Aku menatap langit, mencari rembulan. Tapi malam itu gelap, hanya awan tebal yang berarak.