Mohon tunggu...
I Nyoman Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen Kimia Undiksha - Hoby menanam anggur

Jalan jalan dan berkebun

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senyummu, Rembulan Tengah Malam

8 Oktober 2025   02:57 Diperbarui: 8 Oktober 2025   02:57 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lalu kau menambahkan, "Senyum bukan tanda segalanya baik. Ia tanda bahwa aku memilih berdamai dengan apa pun yang ada."

Kata-katamu menenangkan, tapi juga menusuk. Aku teringat masa-masa ketika aku kehilangan banyak hal---orang-orang, impian, bahkan diriku sendiri. Waktu itu, aku mencari penjelasan di segala tempat, tapi tak kutemukan. Mungkin karena aku tak berhenti berperang dengan kenyataan.

Kini aku paham. Kedamaian bukan datang karena hidup sempurna, tapi karena kita berhenti melawan.
Dan dari senyummu yang sederhana, aku belajar arti pasrah yang bukan menyerah, tapi menerima dengan penuh cinta.

Engkau memejamkan mata sejenak, seolah mendengarkan sesuatu yang tak bisa didengar oleh telinga.
"Dengar," bisikmu.
Aku ikut diam.
"Angin itu berdoa," lanjutmu. "Ia menyentuh wajah kita, tapi sebenarnya sedang mencium bumi."

Aku menatapmu lama, dan malam menjadi saksi betapa aku sedang belajar mencintai dengan cara yang lebih hening.
Cinta yang tidak menuntut hadir, tapi cukup mengetahui bahwa ia ada.

Di antara kabut dan cahaya rembulan itu, aku merasa seolah semesta ikut tersenyum. Semua hal yang dulu tampak besar kini mengecil, semua luka yang dulu dalam kini terasa ringan.

Kau menatapku lembut. "Jangan takut kehilangan," katamu. "Bahkan rembulan pun berani hilang setiap malam, karena tahu bahwa ia akan kembali utuh suatu waktu."

Aku menarik napas dalam-dalam. Kata-kata itu menembus jauh ke ruang hatiku yang selama ini kaku.
Dan aku sadar, selama ini aku takut redup.
Padahal, dalam redup itu justru ada ruang untuk menyala kembali.

Malam terus berjalan. Burung-burung malam mulai kembali ke sarangnya. Angin membawa suara gamelan dari pura di ujung desa, samar tapi sakral.
Engkau menatap langit, lalu berkata pelan, "Rembulan itu seperti jiwa manusia. Ia tak punya cahayanya sendiri, tapi memantulkan sinar matahari."
Aku mengangguk.
"Jadi jangan khawatir kalau kamu merasa gelap," lanjutmu. "Mungkin kamu hanya sedang menunggu cahayamu dipantulkan."

Aku menatapmu, ingin berkata sesuatu, tapi tak tahu harus mulai dari mana. Hanya dada ini yang terasa penuh---penuh dengan sesuatu yang tak bernama, tapi hangat.

Lalu aku sadar: begitulah cinta yang tenang bekerja. Ia tak berisik, tak menuntut, hanya ada---dan dari keberadaannya, hidup menjadi lebih ringan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun