Nyoman membaca pesan itu berulang-ulang. Seakan huruf-hurufnya menyala, memberi kehangatan. Ia lalu membalas:
"Sayang, rindu ini bukan beban, tapi anugerah. Rindu mengajariku untuk sabar, untuk percaya, dan untuk menjaga cinta ini dengan lebih tulus. Aku menunggumu bukan dengan resah, tapi dengan penuh syukur. Karena aku tahu, setiap hari yang berlalu adalah langkah menuju pertemuan kita."
Seperti gaya hidup spiritual yang sering Nyoman baca dalam buku-buku Gede Prama, ia belajar bahwa cinta sejati bukan hanya tentang memiliki, tetapi tentang menyatu. Ia dan Putri  tidak hanya saling melengkapi, tapi juga saling menguatkan.
Ketika Nyoman lelah menulis, ia ingat kata-kata istrinya, dan semangat pun kembali. Ketika Putri  lelah bekerja, ia teringat senyum Nyoman, dan energinya pun pulih.
Cinta, pada akhirnya, adalah energi. Ia melintasi jarak, waktu, bahkan keterbatasan tubuh. Ia adalah doa yang diam-diam membentang di antara dua hati.
Hari ketujuh, akhirnya Putri  pulang. Dari kejauhan, Nyoman melihat sosoknya turun dari kendaraan, membawa koper kecil. Wajahnya cerah, matanya berbinar. Tanpa menunggu, Nyoman berlari menyambut, seperti anak kecil yang menemukan mainan kesayangannya kembali.
Mereka berpelukan erat. Dunia seakan berhenti sejenak. Tidak ada suara lain selain detak jantung yang berpadu.
"Papa, aku pulang..." bisik Putri  dengan suara bergetar.
"Selamat datang, sayang. Kau tidak pernah benar-benar pergi dari hatiku," jawab Nyoman sambil mengecup keningnya.
Dan di sanalah, mereka belajar, bahwa cinta bukan sekadar hadir di satu tempat. Cinta adalah napas yang selalu hidup, meski raga terpisah. Pertemuan hanyalah hadiah, selebihnya adalah perjalanan panjang menjaga getaran hati agar selalu selaras.
Malam itu, mereka duduk berdampingan di beranda rumah. Bintang-bintang bertaburan, menatap mereka dengan iri.