Malam itu, angin berhembus pelan dari sela-sela jendela kamar. Lampu temaram meneteskan cahaya keemasan ke meja kPutri  sederhana di pojok ruangan. Di atasnya, sebuah ponsel menyala, menampilkan notifikasi pesan singkat. Hanya satu kata di sana: "Sayang..."
Bagi Nyoman, kata sederhana itu terasa lebih indah daripada seribu puisi. Ia membaca pelan, seolah takut suaranya membangunkan malam. Istrinya, Putri , berada jauh di kota lain untuk urusan pekerjaan. Hanya beberapa hari, namun terasa seperti berabad-abad. Namun dalam setiap jeda, ada kabar, ada suara, ada sapaan. Itulah yang membuat jarak menjadi tidak pernah benar-benar memisahkan.
"Papa, jangan lupa makan ya. Aku tahu papa suka lupa kalau sudah menulis," suara Putri  di telepon, ceria dan penuh kasih.
"Aku makan, sayang. Justru aku merasa makanan jadi lebih enak kalau membayangkan kamu di sebelahku," jawab Nyoman sambil tersenyum.
Di ujung sana, Putri  terkekeh. Tawanya seperti bunga yang mekar di padang sunyi. "Kamu selalu bisa membuat kata-kata menjadi pelukan. Padahal kita terpisah ratusan kilometer."
"Karena cinta itu, sayang, tidak mengenal jarak. Hati kita hanya butuh satu hal: keyakinan bahwa kita selalu ada untuk satu sama lain."
Mereka pun terdiam sejenak, bukan karena kehilangan kata, melainkan karena merasakan getaran yang sama. Dalam hening itu, cinta tumbuh, seperti pohon yang diam-diam menegakkan batangnya di tengah tanah subur.
Hari-hari berjalan. Setiap pagi, Nyoman membiasakan diri menyapa matahari dengan doa: semoga istrinya selalu sehat, selalu ceria, selalu kuat menjalani hari. Ia juga menjaga pesan Putri  di hatinya: "Papa terlihat lebih muda kalau pakai baju putih." Maka, setiap kali ia mengenakan pakaian putih, ia tersenyum sendiri di depan cermin, merasa seolah Putri  sedang memandanginya dari kejauhan.
"Benarkah aku tampak lebih muda, sayang?" tanyanya pelan sambil membenarkan kerah baju. Dan seakan semesta ikut bersuara, bayangan di cermin menjawab dengan cahaya: ya, karena cinta membuatmu selalu muda.
Di sisi lain, Putri  menjalani kesibukan kota. Gedung-gedung tinggi, rapat yang melelahkan, suara kendaraan yang tidak pernah diam. Namun di sela semua itu, ia selalu menyempatkan diri mengirim pesan: "Aku baik-baik saja. Jangan khawatir, papa." Atau "Makan yang banyak ya, biar kuat menunggu aku pulang."