Mohon tunggu...
I Nyoman Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen Kimia Undiksha - Hoby menanam anggur

Jalan jalan dan berkebun

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Malam Hening Di Matamu

30 Agustus 2025   20:49 Diperbarui: 30 Agustus 2025   20:49 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pantai-(Sumber : FB-Nabelia Kirana Putri)

Malam itu jatuh dengan perlahan, seperti tirai sutra yang diturunkan tangan langit. Bulan bulat menggantung di cakrawala, meneteskan cahaya lembut ke permukaan laut. Ombak berlari, lalu kembali, mencumbu pasir dengan ritme yang tak pernah letih. Angin laut mengusap wajahku dengan bisikan dingin yang membawa aroma garam dan rindu.

Aku duduk di tepi pantai, membiarkan jemariku menyentuh butiran pasir yang dingin, seolah mencari arti dari setiap butirnya. Namun sesungguhnya, bukan laut yang kucari. Bukan pula bintang yang kuburu. Ada yang lebih indah dari semua ini---kau, yang duduk di sampingku, diam, tapi suaramu terdengar dalam keheningan.

Rambutmu terurai, terbawa angin, bagai buih yang pecah lalu hilang di udara. Wajahmu, tersaput cahaya bulan, tampak seperti lukisan yang diciptakan dengan tinta cahaya dan doa. Dalam hening malam itu, aku merasa sedang menatap rahasia semesta yang tak pernah bisa dibaca siapa pun.

Aku menoleh perlahan, menatapmu lebih lama daripada seharusnya. Tatapan itu melayang, menembus batas tubuh, menelusup hingga ke ruang jiwa. Dan di matamu, aku menemukan laut kedua---lebih dalam, lebih sunyi, lebih mempesona dari samudra yang terhampar di depan kita.

"Kau tahu," bisikku, suaraku nyaris kalah oleh debur ombak, "malam ini bukan milik bulan, bukan pula milik bintang. Malam ini sepenuhnya milikmu."

Kau tersenyum samar, senyum yang membuat detak jantungku berubah menjadi irama gamelan yang dipukul angin. Senyum itu sederhana, tapi mampu membuat seluruh semesta seakan berhenti berputar, hanya untuk merayakan keindahanmu.

"Indah sekali malam ini," katamu, menatap ke horizon yang jauh, di mana laut dan langit berpura-pura menyatu.

Aku mengangguk. Tapi dalam hatiku aku tahu, malam ini takkan berarti apa-apa tanpa hadirmu. Kau adalah cahaya yang membuat bintang malu bersinar. Kau adalah alasan mengapa bulan bersembunyi di balik awan, seolah takut kalah oleh pesonamu.

Keheningan menyelimuti kita. Tapi itu bukan hening yang kosong. Itu adalah hening yang penuh suara---suara hati, suara rindu, suara cinta yang tak diucapkan. Ombak berdebur seperti syair, angin berbisik seperti doa, dan detak jantungku mengucap namamu dalam bahasa yang hanya dimengerti semesta.

Aku memejamkan mata sejenak. Di dalam gelap mataku, aku melihatmu lebih jelas daripada cahaya mana pun. Kau hadir sebagai cahaya yang tidak pernah padam, bahkan ketika malam akan purna.

"Aku takut," katamu tiba-tiba, suaramu seperti getaran halus yang datang dari jauh. "Takut semua ini hanya sementara. Takut ketika fajar tiba, semua akan berubah."

Aku menoleh padamu, mendekat, membiarkan jarak kita dipangkas oleh keberanian yang lahir dari cinta. "Dengarlah," bisikku, "dunia boleh berubah, ombak boleh surut, bulan boleh redup. Tapi apa yang kurasakan padamu, tak akan pernah tunduk pada waktu."

Tatapanmu mencari-cari wajahku, seakan ingin memastikan apakah kata-kata itu sungguh lahir dari hati. Dan ketika mata kita bertemu, aku tahu, aku sedang berbicara pada rumah jiwaku sendiri.

Kau menunduk, jemarimu bermain dengan pasir. Kau menggambar garis-garis kecil yang segera dihapus ombak. Aku memperhatikanmu dengan diam, dan dalam diam itu, aku belajar bahwa cinta kadang tak butuh kata, hanya butuh keberadaan.

"Malam ini ingin sekali kuhentikan," ucapmu lagi. "Agar kita tetap di sini, selamanya. Agar bulan tidak pernah pergi, ombak tidak pernah lelah, dan aku tidak pernah jauh darimu."

Aku tersenyum. "Kalau malam bisa berhenti, aku hanya ingin satu hal: tatapanmu tidak pernah meninggalkan mataku."

Air matamu hampir jatuh, tapi kau cepat menghapusnya. Dan di sana aku melihat sesuatu yang tak pernah kulihat sebelumnya---kejujuran yang telanjang, rasa takut yang tak tersamarkan, dan cinta yang terlalu dalam untuk diucapkan.

Ombak terus berlari, seakan ingin menertawakan ketakutan kita. Mereka tahu, cinta tidak pernah tunduk pada fajar atau malam. Cinta adalah laut itu sendiri---selalu datang, selalu pergi, tapi selalu kembali.

Aku menggenggam jemarimu. Jemari yang dingin oleh angin malam, namun hangat oleh kehadiranmu. "Jika suatu hari kau meragukan cintaku," kataku lirih, "datanglah ke pantai ini. Lihatlah ombak yang tak pernah berhenti kembali ke pasir. Itulah aku. Selalu kembali padamu, apa pun yang terjadi."

Kau menatapku dengan mata yang basah, mata yang telah menjelma samudra baru di hatiku. Senyummu lahir kembali, lebih indah, lebih jujur. Senyum itu menyalakan api kecil di dadaku, api yang akan tetap menyala bahkan ketika dunia padam.

Malam semakin larut. Bintang berjatuhan di langit, seperti bunga-bunga cahaya yang dilemparkan dewa ke bumi. Ombak semakin riuh, tapi dalam riuh itu aku justru menemukan ketenangan. Karena di sisiku, ada kau, yang diamnya saja sudah bisa membuatku percaya pada abadi.

Aku ingin membekukan malam itu. Aku ingin menjadikannya sebuah puisi panjang, agar ketika kita tua nanti, ketika rambut memutih dan waktu menggerus segalanya, kita bisa membaca kembali dan merasakan bahwa cinta ini pernah begitu indah, begitu dalam, begitu nyata.

Aku menatapmu sekali lagi, lebih lama dari sebelumnya. Dan di matamu, aku menemukan bukan hanya cinta, tapi juga rumah. Rumah yang tidak terbuat dari dinding atau atap, tapi dari tatapan dan senyuman. Rumah yang bisa kugendong ke mana saja, bahkan ketika aku jauh dari pantai ini.

"Malam hening ini," bisikku, "adalah saksi. Bahwa aku jatuh cinta padamu, lagi dan lagi, tanpa pernah habis."

Dan di antara cahaya bulan, debur ombak, serta angin yang membawa doa, aku tahu: malam itu akan terus hidup di dalam ingatan, tak peduli berapa lama waktu berjalan.

Kini, setiap kali aku kembali ke pantai itu, aku selalu mendengar suaramu di antara debur ombak. Malam hening seakan masih menyimpan jejak tatapanmu, seolah semesta tahu aku tak pernah benar-benar ingin berpisah darimu.

Aku menulis namamu di pasir, lagi dan lagi, meski kutahu ombak akan segera menghapusnya. Namun aku percaya, laut hanya mengembalikan namamu ke hatiku, agar tetap abadi di sana.

Jika kelak waktu memisahkan kita, dan malam tak lagi sama, aku ingin kau tahu satu hal: di dalam setiap tatapanku, aku selalu membayangkan kebersamaan itu. Kau membuat jiwaku melayang, melampaui batas dunia, hingga aku menemukanmu di langit, di laut, dan di dalam diriku sendiri.

Cinta ini mungkin tak bisa menghentikan fajar, tapi ia akan terus menyala di dalam gelap, seperti bulan yang setia menjaga samudra. Dan selama aku masih bernapas, aku akan terus kembali---seperti ombak kepada pantai---untuk mencintaimu, sekali lagi. Untuk  yang selalu menjadi inspirasiku walau dalam benak****

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun