Ayah menggeleng. "Ayah hanya mencintai ibumu."
Aku menghela nafas. Memutar bola mata, tidak ingin mendengar retorika klise dari zaman purba. Teringat janji bertemu Randi yang sepertinya akan gagal total.
"San, pokoknya, sampaikan salamku pada ibumu. Ayah ada urusan, pergi dulu."
Geming, aku menatap Ayah keluar kafe, memasuki mobil silver yang terparkir di bawah pohon akasia. Tidak usahlah aku memikirkan pengakuan ganjil barusan. Lebih baik, aku segera hubungi Randi.
Setelah tekanan dan pukulan kesepuluh, telepon genggamku berhasil menyala. Aku memekik girang, menatap sekeliling. Ada tiga laki-laki yang duduk seorang diri. Kutebak, salah satunya Randi.
Berdebar, aku segera membuka rentetan pesan pada aplikasi kencan buta.
Randi: Di mana?
Randi: Saya yang pakai jaket cokelat ya.
Ah! Telepon genggamku macet mendadak, lagi. Ada dua laki-laki berjaket cokelat di arah jam 3 dan jam 12. Yang mana?
Aku mendekati salah satu yang lebih menarik hati. "Randi, ya?"
Laki-laki muda berkacamata itu menggeleng. Wajahku terasa hangat, bersemu. Beringsut menjauh ke arah laki-laki gondrong yang aku yakini sebagai Randi.