Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Dimorfik

20 Desember 2018   18:46 Diperbarui: 20 Desember 2018   21:57 974
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di usia 8 tahun, aku tidak benar-benar paham alasan Ayah pergi dan tidak kembali hingga lama sekali.

Sempat kukira, Ayah kesal karena aku kedapatan mengerjai guru di sekolah. Tapi, di usia 21 tahun, aku telah tuntas membaca kisah keluarga kami pada tangisan Ibu yang sering kali lupa berhenti.

Biarlah, oang-orang mencap aku sebagai generasi tanpa ayah. Kata Ibu, kami ikhlas saja. Ayah direbut oleh gelandangan yang mencari laki-laki mapan untuk membiayai kuliahnya.

"Sudah, tidak apa-apa. Anggap saja kita menyedekahkan Ayah untuk kaum duafa," Ibu berkata hambar sembari mengiris bawang merah. Aku tidak yakin air matanya berasal dari mana.

Rasanya, kami sama-sama masih gamang. Tidak pernah paham mana rindu, cemburu, kecewa, atau cinta.

Karena hubungan bagiku, tidak lebih dari permainan orang-orang yang menyangka bahwa mereka sudah dewasa. Mengusir kesepian, mengisi waktu luang, dan bertaruh dengan rayuan.

Sungguh suram, setiap kali berpacaran, aku hanya punya satu pertanyaan: Bagaimana cara kami berpisah di ujung kisah yang sudah lelah?

Tring!

Terdengar notifikasi dari aplikasi kencan buta yang aku instal bulan lalu. Pesan dari Randi. Seorang laki-laki asal Bogor yang dua minggu lalu mengaku jatuh cinta pada profilku.

Ah, naif, tentu saja. Kejujuran macam apa yang bisa diharapkan dari sebuah wadah kencan buta? Nama palsu, profil palsu, foto palsu.

Kamu tidak akan menemukan apa-apa selain yang kamu cari. Seperti lolongan serigala yang bersahutan, juga suara infrasonik yang tidak terdengar oleh telinga manusia. Pada akhirnya, hiu memanggil hiu, kelelawar memanggil kelelawar.

Lalu aku, hanya mencari teman untuk saling mendengar. Randi juga. Waktu yang bicara dan memutuskan. Dan, sialnya, yang terjadi, kami selalu betah berbincang hingga larut malam, berselimut dalam suaka berisi kesamaan selera musik, film, hingga makanan.

Tidak lebih, awalnya.

Namun, lambat laun, aku merasa Randi berbeda. Dia menawarkan kepingan yang aku cari-cari. Meski dia mengaku cukup tua, aku tidak peduli. Darinya, kutemukan kebijaksanaan, ketenangan, kenyamanan.

Belum lagi, keanehan.

Kepada Randi, aku takut kehilangan. Tidak ingin ada perpisahan atau ucapan selamat tinggal. Meski secara alamiah kami saling memanggil "Sayang" dan mulai bicara tentang perasaan, aku tetap buncah.

Masalahnya, pertautan gila tanpa tahu nama, rupa, bahkan usia, akan segera menemui akhir cerita.

Kami memutuskan untuk bertemu hari ini, di kafe ini, di jam ini. 

Kencan buta pertama. Berakhir bahagia atau nestapa, kita lihat saja.

Randi: Saya sudah sampai, nih. Pakai baju apa, Sayang?

Baru saja aku hendak membalas pesan Randi, telepon genggamku mati. Aku jadi sadar sering melemparkan benda ini berkali-kali. Tapi, kenapa harus sekarang? Huft.

"San?"

Aku terentak mendengar suara berat seorang laki-laki dari arah belakang. Sejenak tergugu.

"Ayah?!" Darahku berdesir hebat melihat sosok laki-laki kurus dalam balutan jaket coklat, berdiri seperti hantu dari masa lalu. Garis wajahnya masih sama, hanya menua.

"Hmm ... Ayah kebetulan lewat, mau beli kopi. Lalu, lihat kamu. Bagaimana kabar Ibu?"

"Semakin buruk, sejak Ayah mencampakkan kami," Aku menjawab ketus, dilengkapi tatapan benci. "Dokter mengatakan ada gejala skizofrenia."

Wajah Ayah terkesiap. Sengaja, aku ingin membuatnya menyesal, sedih, atau prihatin ... terserahlah. "Mana perempuan itu? Apakah dia sudah pergi seperti Ayah meninggalkan kami?"

Ayah tampak bingung. "Ayah tidak pernah mencintai perempuan lain selain ibumu."

Aku tertawa, mencibir.

"Apa kamu lupa? Ibumu yang mengusir Ayah," katanya pelan, duduk di kursi yang berseberangan denganku.

Segalanya terasa dingin.

"Ah, ya. Ayah lupa kamu masih sangat kecil ketika semua terjadi."

"Dan, sekarang aku sudah cukup besar untuk memahami semuanya."

"Haruskah kita bicarakan ini?"

Aku mengendikkan bahu.

"Oke, kamu berhak tahu." Ayah menarik napas berat. "Ibumu yang lebih dulu berselingkuh dari Ayah."

"Tidak usah melimpahkan kesalahan pada orang lain. Itu tindakan pengecut!" Geram, aku meremas gelas plastik berisi kopi Toraja.

"Dengar dulu, San. Kamu tahu, dulu Ayah bekerja di tambang dan hanya pulang dua bulan sekali. Ayah maklumi, ibumu merasa kesepian dan menghadirkan laki-laki muda itu di rumah kita."

Aku diam, mencabik-cabik bistik yang kupesan dengan pisau dan garpu.

"Ayah merasa hancur. Tidak sanggup Ayah marah pada ibumu. Ayah hanya ingin membalas, namun tak sampai hati menduakan ibumu dengan perempuan lain." Suara Ayah tersendat. Wajahnya merah dan tampak gelisah. "Jadi ... Ayah menemui laki-laki bayaran itu, dan ... kami ..."

Aku menatap bistik di hadapanku. Jantungku bergejolak, GERD yang lama tak bersarang sepertinya kumat lagi. Mual, bukan. Entahlah.

Bagaimana mendeskripsikan perasaan ketika kamu tahu bahwa pacar ibumu juga menjadi pacar ayahmu?

Ah! Cerita bodoh.

"Lalu, sekarang?" Aku bertanya penasaran, tapi khawatir mendengar jawaban.

Ayah menggeleng. "Ayah hanya mencintai ibumu."

Aku menghela nafas. Memutar bola mata, tidak ingin mendengar retorika klise dari zaman purba. Teringat janji bertemu Randi yang sepertinya akan gagal total.

"San, pokoknya, sampaikan salamku pada ibumu. Ayah ada urusan, pergi dulu."

Geming, aku menatap Ayah keluar kafe, memasuki mobil silver yang terparkir di bawah pohon akasia. Tidak usahlah aku memikirkan pengakuan ganjil barusan. Lebih baik, aku segera hubungi Randi.

Setelah tekanan dan pukulan kesepuluh, telepon genggamku berhasil menyala. Aku memekik girang, menatap sekeliling. Ada tiga laki-laki yang duduk seorang diri. Kutebak, salah satunya Randi.

Berdebar, aku segera membuka rentetan pesan pada aplikasi kencan buta.

Randi: Di mana?

Randi: Saya yang pakai jaket cokelat ya.

Ah! Telepon genggamku macet mendadak, lagi. Ada dua laki-laki berjaket cokelat di arah jam 3 dan jam 12. Yang mana?

Aku mendekati salah satu yang lebih menarik hati. "Randi, ya?"

Laki-laki muda berkacamata itu menggeleng. Wajahku terasa hangat, bersemu. Beringsut menjauh ke arah laki-laki gondrong yang aku yakini sebagai Randi.

"Maaf, ya. Hape saya eror, tidak bisa menghubungi dari tadi. Randi, kan?" Aku duduk di sebelahnya, melempar senyum semanis yang kumampu.

Laki-laki itu tampak terkejut. "Siapa, ya?"

"Kamu Randi, kan? Saya Gio, yang di aplikasi Dimorfik." Canggung, aku menyebut nama samaran yang kugunakan.

"Bukan, saya Aldo, Mas."

Tubuhku kaku. Malu, sekaligus merasa dipermainkan. Apakah Randi tidak datang? Atau, tidak mengaku?

Telepon genggamku berbunyi berkali-kali, serbuan pesan masuk yang tertunda. Segera kubuka.

Randi: Sudah datang, Sayang?

Randi: Saya di dekat jendela, dekat kasir, ya.

Randi: Maaf, saya ketemu teman dulu. 15 menit.

Randi: Masih di kafe?

Randi: Sayang?

Randi: Kita pindah saja, yuk. Saya tunggu di mobil, ya. Mobil silver di bawah pohon akasia, depan kafe.

Randi: Kamu di mana?

Randi: Tidak marah, kan?

Randi: Gio, Sayang. Jadi ketemu?

Aku menatap nanar mobil silver yang masih terparkir di depan sana.

Bisakah aku minta untuk tidak dilahirkan saja?

***

N. Setia Pertiwi

Cimahi, 20 Desember 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun