Beringsut ke selatan, di bawah rampai bugenvil dan alamanda, sepasang kakek nenek berbagi bekal makanan. Mereka menyuapi satu sama lain. Lebih dalam lagi, mereka saling mengisi, saling melengkapi, dan saling menyudahi.
Seorang laki-laki dari arah utara melambai dan menuju ke arah kami. Menggendong anak perempuan berusia satu tahun. Mereka, semestaku, kini dan nanti.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam." Aku dan Firman menjawab bersamaan.
"Sudah rapatnya?"
Aku mengangguk, mencium punggung tangannya, khidmat. Aku merasakan gelagat Firman yang mulai tidak nyaman. Â
"Kakakmu?" Tanya Firman, dengan nada cemas.
"Ini Fauzan, suamiku. Tadi aku sudah bilang, kan? Dia akan kemari."
Suamiku menyalami Firman yang gelagapan dengan senyuman hambar. Wajah Firman rusuh. Aku menangkap rentetan pertanyaan yang ingin dia sampaikan.
Alih-alih mengindahkan, aku mengucapkan salam--yang sepertinya, akan menjadi perpisahan.
"Ummi, ummi," rengek anak perempuan cantik yang sedari tadi minta diperhatikan. Aku mengambil alih gendongan, dan kami pergi, bergegas ke stasiun, mengejar kereta menuju Bandung.