Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kinanti Sriwedari

30 Oktober 2018   19:27 Diperbarui: 30 Oktober 2018   19:36 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jalinan sinar mata yang tidak lebih dari tiga detik, menjadi bahasa yang kami gemari. Bahkan, sesekali aku dan dia hanya saling memunggungi dan bicara melalui hembusan angin.

Sementara kata-kata, baru hadir ketika kami telah kehilangan sabar untuk saling menebak perasaan.

Dan kini, dua orang yang siap untuk saling melukai, terjebak kinanti di Taman Sriwedari.

Setelah satu tahun bercengkerama di alam virtual, kami adakan sebuah pertemuan, untuk pertama kali. Momen yang terjadi dalam rangka perilisan buku kolaborasi kami di kota yang diselimuti aura magis. Solo.

Kamu dari Malang, aku dari Cimahi, dan kita berjumpa di sana. Studio Lokananta. Rabu. 27 September 2016. Pukul sembilan nol nol.

Ah, Firman ...

Bagaimana mungkin aku melupakan jadwal istimewa itu. Begitu pula aku mengingat getar suaramu yang hangat, bersahabat, dan penuh hal-hal tersirat.

Pada memoriku juga melekat perwujudanmu yang manis dan ikonis, khas santri. Lengkap dengan kopiah dan sarung tenun hijau asal Pemalang. Terasa unik dipadukan dengan aksenmu yang dominan Suroboyoan.

Semua itu, berkoalisi agar aku tidak menolak ajakanmu untuk berbincang di taman eksotis yang menyimpan nyawa kesenian ini. Membicarakan langkah selanjutnya, katamu.

"Kamu percaya cinta pada pandangan pertama, Tan?"

Aku tidak menduga, pertanyaan itu yang kamu lontarkan pertama kali secara lisan. Bukan "apa kabar" atau perkenalan seperti orang normal.

Harusnya kamu tahu, kan. Pembicaraan tentang cinta selalu membuatku jengah. Kamu memang sengaja.

"Tidak, aku tidak percaya mata. Aku lebih nyaman menelisik kata-kata," jawabku dingin, fokus menatap pagar beraksen batu alam, dengan pikiran yang mengawang.

"Bukankah kata-kata lebih mudah mengelabui dibandingkan sinar mata?"

"Pilihan kata-kata juga punya rasa. Ada emosi, ada pikiran tersembunyi, ada alam bawah sadar yang merefleksikan jiwa dan cerita penulisnya." Aku mengatur napas, mencari bahan pembicaraan lain. "Setelah ini, aku ingin menulis novelku sendiri. Kamu berencana menggarap buku apa?"

"Abdi bogoh ka anjeun (aku cinta sama kamu), Tania."

"Aku ora takon iku (aku tidak tanya itu)," jawabku cepat. Menahan gemuruh yang mulai merambat. Mengimbangi bahasa Sunda berlogat Suroboyoan Firman, dengan menggali kosakata ibuku yang berasal dari Kediri.

"Aku arep koe eruh (aku mau kamu tahu), Tan."

"Koe wis tau ngomong (kamu sudah pernah bilang). Aku yo wis jawab (aku juga sudah jawab), Firman. Abdi tos boga caroge sareng murangkalih (Aku sudah punya suami dan anak)."

"Sakkarepmu (terserah kamu). Sing jelas aku trisno karo koe (yang jelas aku cinta sama kamu)."

"Kamu seharusnya mampu menahan diri."  

"Aku bisa menahan diri, tapi bukan hati."

Selama beberapa menit, geming menguasai kami. Atmosfer berubah warna menjadi jingga. Pohon akasia meranggas, menyirami kami dengan bunga-bunga kuning dan dedaunan kering.

"Abdi teh tos boga caroge, Man. Cinta ge aya batasna. (Aku sudah punya suami, Man. Cinta juga ada batasnya) Aku tidak bisa serta merta menyatakan bahwa aku juga mencintaimu," tegasku, menahan gejolak.

"Jika perasaan itu ada, untuk apa kita menyangkal?"

"Sebentar lagi dia datang menjemputku."

"Sopo (siapa)?"

"Sopo meneh (siapa lagi)?"

Derap kesunyian hadir kembali. Jarak kami hanya tiga meter, namun pelataran taman bertransformasi menjadi lautan. Menjauhkan kami yang terombang-ambing di atas perahu masing-masing. Terasing.

Aku memeluk diriku sendiri. Tidak ingin membiarkan pertahananku lari.

Masihkah aku pantas bicara cinta? Untuk apa dan siapa?  Sejak perjanjian yang menggetarkan langit itu terucapkan, cinta sudah semestinya mengamini sasmita alam. Aku sudah enggan bermain-main dengan perasaan.

Jeda meluruh. 

Tiga pasang muda-mudi melewati kami. Tertawa. Wajah mereka bahagia, terseret masa depan yang tidak membiarkan waktu membeku di dalam genggaman tangan.

Beringsut ke selatan, di bawah rampai bugenvil dan alamanda, sepasang kakek nenek berbagi bekal makanan. Mereka menyuapi satu sama lain. Lebih dalam lagi, mereka saling mengisi, saling melengkapi, dan saling menyudahi.

Seorang laki-laki dari arah utara melambai dan menuju ke arah kami. Menggendong anak perempuan berusia satu tahun. Mereka, semestaku, kini dan nanti.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam." Aku dan Firman menjawab bersamaan.

"Sudah rapatnya?"

Aku mengangguk, mencium punggung tangannya, khidmat. Aku merasakan gelagat Firman yang mulai tidak nyaman.  

"Kakakmu?" Tanya Firman, dengan nada cemas.

"Ini Fauzan, suamiku. Tadi aku sudah bilang, kan? Dia akan kemari."

Suamiku menyalami Firman yang gelagapan dengan senyuman hambar. Wajah Firman rusuh. Aku menangkap rentetan pertanyaan yang ingin dia sampaikan.

Alih-alih mengindahkan, aku mengucapkan salam--yang sepertinya, akan menjadi perpisahan.

"Ummi, ummi," rengek anak perempuan cantik yang sedari tadi minta diperhatikan. Aku mengambil alih gendongan, dan kami pergi, bergegas ke stasiun, mengejar kereta menuju Bandung.

Sejenak, aku bersumpah melupakan segala percakapan barusan. Hidupku telah penuh, tidak ada celah bagi penyusup maupun penyelundup.

Notifikasi pesan masuk. Dari Firman.

Firman: Kenapa kamu menipuku?

Aku tertegun membaca pertanyaan itu. Apa lagi, sih. Gusar, aku segera membalas.

Aku: Menipu apa?

Firman: Kenapa kamu tidak bilang bahwa kamu punya suami? Aku bisa saja mencintai siapapun, tapi bukan perempuan yang telah dinikahi orang lain!

Aku: Aku sudah pernah bilang, berkali-kali.

Firman: Kapan?

Aku: Setiap kali kamu membuat pengakuan, aku sudah bilang "Abdi tos boga caroge (aku sudah punya suami)"

Firman: Aku dari Malang, Tan. Aku ora iso boso Sunda (aku tidak bisa bahasa Sunda)!

Aku batuk, tersedak serabi yang tengah aku nikmati. "Naha, Ummi (kenapa, Ummi)?" Suamiku bertanya khawatir.

Aku menggeleng, "Teu nanaon. Mun keselak (Tidak apa-apa. Cuma keselak)."

Aku: Ngopo koe sok-sokan ngarani "abdi bogoh ka anjeun" (Kenapa kamu sok-sok bilang "aku cinta sama kamu" pakai bahasa Sunda?)

Firman: Yo iku ae sing aku tau (ya cuma itu yang aku tahu).

Aku menutup wajahku dengan kerudung. Menahan tawa yang ingin meledak. Kesal, geli, campur aduk jadi satu.

Aku: Sakkarepmu wis, Man. (Terserah kamu deh, Man).

Tanpa menunggu balasan, aku mematikan telepon genggam, memasukkannya ke dalam tas.

Aku menarik napas dalam, dan tersenyum pada lumuran senja di wajah Fauzan dan Kirana.

Semestaku, kini dan nanti. 

Tak akan terganti.

***

N. Setia Pertiwi

Cimahi, 30 Oktober 2018

*Cerpen ini dibuat dalam rangka memperingati tepian Bulan Bahasa, Oktober 2018.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun