Mohon tunggu...
Nurul Pratiwi
Nurul Pratiwi Mohon Tunggu... Penulis

Penulis dan pengembara kehidupan saya sendiri. Tertarik dengan dunia literasi, jurnalistik, fotografi, psikologi, dan kesehatan mental.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dalam Dekapan Bumi

13 Oktober 2025   21:28 Diperbarui: 13 Oktober 2025   21:28 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi makam. Sumber gambar : unsplash.com/Will Favata

Sinar matahari begitu terik, hingga panas terasa membakar kulit. Meskipun begitu, angin seperti menjadi obat, sebab hadirnya dia memberikan kesejukan yang melegakan. Melewati belokan, tampak hamparan sawah yang sedang menguning. Ada yang sudah muncul sisa-sisa pembakaran di sawah yang satu, ada juga sawah lainnya yang Masih terlihat menguning.

Aku mengambil jalur kanan setelah melihat semua yang tergambar. Tak lama, aku sampai di persimpangan yang terdapat pohon manggis di pinggir kanannya. Aku masuk ke jalan yang hanya bisa dilalui dengan jalan kaki atau sepeda motor itu. Jalan itu tampak begitu rapuh dan becek. Memang, kemarin hujan sempat turun.

Setelah lurus berjalan, aku berhenti dan berbelok ke kiri. Tampak makam-makam itu bersih, meskipun masih ada sisa-sisa rumput yang habis dipangkas di sana. Aku pun melangkah menuju satu makam bernisan merah dan duduk bersila di pinggirannya. Aku menatapi nisan merah yang bertuliskan kalimat istirja, nama, tanggal lahir dan tanggal wafat.

Aku mulai membersihkan rumput-rumput kecil yang tumbuh di atas kerikil makam dan pinggiran nisan merah itu. Setelah selesai, aku menyapu daun-daun kering yang ada di pinggiran makam dan membersihkan nisan merah yang kotor terkena tanah setelah pencabutan rumput. Akhirnya, setelah semua beres, aku kembali duduk bersila dan menadahkan tangan. Bibir dan lisanku bergerak merapalkan doa.

"Bunda, setelah sekian purnama, Gita kembali ke sini ya."

Kalimat itu hanya dijawab oleh angin yang berhembus pelan, hingga daun-daun kering perlahan kembali jatuh ke atas nisan.

"Bunda, maafin Gita ya. Gita memilih pergi, bukan menjaga rumah yang bunda perjuangin."

Aku diam sejenak dan tak lama menghela napas pelan.

"Gita pergi, bukan berarti Gita egois. Gita juga berhak bahagia bunda, dan bahagia Gita bukan di rumah yang bunda perjuangin."

Angin masih berhembus pelan, tapi kini terdengar lantunan ayat suci Al-Qur'an dari pengeras suara musala terdekat. Aku tahu, itu masih penanda waktu Duha, bukan Zuhur, sebab sekarang masih pagi.

"Sekarang baru Gita aja, Bunda. Kak Lala belum bisa nyusul."

Aku kembali diam dan menghela napas sejenak.

"Bunda, gimana di sana? Apa di sana menyenangkan, sampai bunda berpulang duluan?"

"Bunda asik ya. Bunda gak ngerasain sakit. Bunda gak ngerasain lagi kebijakan pemerintah yang semakin membuat bingung. Bunda gak ngerasain lagi harga bahkan pokok semakin mahal. Bunda gak ngerasain lagi sedih di sana."

Lantunan ayat suci Al-Quran masih setia menjadi temanku di makam ini. Angin juga tidak lagi berhembus. Namun, ada kicauan burung yang terdengar.

"Bunda, Gita sekarang paham kenapa bunda serius meminta Gita sama Kak Lala untuk menjaga apa yang bunda dan ayah berikan. Ternyata bunda lebih percaya Gita sama Kak Lala daripada keluarga bunda dan ayah. Bunda percaya Gita dan Kak Lala bisa menjalani kehidupan ini bersama. Bunda percaya cuma Kak Lala yang ada buat Gita sampai nanti."

Lantunan ayat Al-Qur'an itu telah berhenti. Kicauan burung masih terdengar.

"Bunda, ternyata bunda percaya ya kalau Gita bisa. Cuma, Gita butuh waktu untuk mencerna semua itu, Bunda. Gita butuh waktu, sampai benar-benar merantau dulu untuk bisa menerima takdir ini. Takdir bahwa Gita harus membereskan luka Gita seorang diri."

"Bunda, Gita selalu rindu bunda. Dimanapun Gita berada. Gita sungguh rindu juga kehidupan Gita sendiri sebelum Gita harus menyembuhkan luka Gita seorang diri. Gita rindu Gita yang dulu, dan rindu juga dengan kehidupan sebelum bunda berpulang."

"Bunda asik ya. Bunda gak harus ngeliat Gita berjuang mencari pekerjaan yang semakin lama rasanya semakin banyak yang tidak cocok dengan kemampuan Gita. Bunda asik gak harus ngerasain dunia yang makin hari semakin gila."

Kini, hening menemaniku di makam ini. Suara kicauan burung pun telah hilang. Tinggal suara deru napasku saja yang terdengar.

"Bunda, Gita pernah pengin mengakhiri hidup Gita dengan sengaja. Soalnya, Gita udah gak kuat. Gita capek. Cuma, Gita inget lagi cerita perjuangan bunda ngelahirin Gita, kuatnya bunda pas hamil Gita tetep puasa, dan gimana bunda nemenin Gita ketika Gita sakit."

Aku mengusap bagian kepala nisan merah makam itu.

"Perlahan Gita paham, Bunda. Hidup tidak hanya soal hitam dan putih, juga benar dan salah. Semuanya ada alasannya, dan Allah yang lebih berhak untuk menilai. Namun, selama ini Gita hidup dalam lingkungan yang sangat menghakimi. Keluarga bunda dan ayah."

"Gita butuh waktu merantau sekian lama dulu untuk bisa menerima takdir ini. Awalnya Gita kecewa, Bunda. Namun, Gita sadar itu udah gak bisa diubah lagi. Gita hanya bisa menyembuhkan semua luka itu dan mencukupkannya pada Gita. Ini, mungkin ini kenapa bunda harus berpulang akhirnya setelah Gita pahami."

Aku masih mengusap nisan merah itu. Mengusapnya lebih lembut lagi, seakan benar-benar tubuh bunda yang aku usap. Sinar matahari tidak lagi terik. Sepertinya awan melindungiku dari matahari itu, karena tahu aku akan lama berada di makam ini.

"Meskipun bunda udah gak ada di sisi Gita, bunda tetap ada dalam hati, pikiran, doa, juga dalam seluruh tubuh Gita. Namun, Gita tetap rindu bunda. Gita kira dulu gak bakal butuh bunda lagi. Ternyata butuh. Rasanya malah lebih butuh sekarang, biar Gita tahu hidup versi bunda dan gimana menjalani kehidupan manusia dewasa lebih baik."

"Bunda, terima kasih untuk semuanya ya. Sekali lagi Gita minta maaf, maaf, dan maaf untuk semua yang pernah Gita lakukan. Bunda yang tenang dalam dekapan bumi ini. Gita dan Kak Lala mengusahakan yang terbaik untuk hidup kita masing-masing."

Aku pun mengambil peralatan yang aku bawa untuk membersihkan makam. Aku melangkah keluar menuju jalan raya. Kini, selesai sudah ritual setiap pulang ke kampung halaman.

***

Mendung menggelayuti langit sore itu. Padahal, satu keluarga ini sudah bersiap untuk berangkat bersilaturrahmi dalam rangka Idulfitri. Meskipun menggunakan mobil, tapi tetap saja mendung begitu bagi mereka lebih enak di rumah, untuk sekadar menonton film spesial Idulfitri di televisi, atau bercengkerama sembari memakan kue khas Idulfitri.

"Gita, Lala, ayo kunci jendelanya. Kita berangkat sekarang."

Gita dan Lala mengangguk pelan dan melangkah menuju jendela. Langkah mereka tampak berat dan gerakan mereka mengunci jendela juga sama beratnya.

Setelah selesai mengunci jendela, mereka keluar. Sang bunda mengecek semua bagian. Setelah selesai mengecek, sang bunda mengunci pintu rumah. Mereka pun bersama sang bunda masuk ke mobil yang di sana sang ayah sudah menunggu. Tak lama, mereka pun berangkat menuju rumah tantenya, adik dari sang ayah, yang berada di luar kota. Mereka perlu menempuh perjalanan darat dua jam, tapi ketika Idulfitri seperti ini mungkin saja bisa lebih dari dua jam.

Mereka bercengkerama di mobil, lalu berkaraoke ria untuk mengisi kebosanan di jalanan. Kemudian, mereka menyalakan lantunan ayat suci Al-Quran dari Syekh Mishari Rasyid Alafasy. Setelah separuh perjalanan, sang ayah yang menyetir mobil mengambil jalur kiri dan menghentikan mobil.

"Kenapa, Yah?" tanya sang bunda.

"Bannya bocor," jawab sang ayah.

Gita dan Lala saat itu memilih di dalam mobil. Sang bunda pun memberitahu mereka bahwa ban mobil bocor. Jadi, tunggu dulu. Perjalanan mereka harus tertunda.

"Gak ada ban serapnya, Yah?" tanya sang bunda.

"Ada sih, tapi nasibnya sama aja. Ayah belum sempat benerin bannya," jawab sang ayah dengan nada sendu.

Sang bunda pun hanya bisa menghela napas. Pasrah akan keadaan. Tak lama, truk roda dua belas datang begitu saja menabrak mereka dan mobilnya. Sang ayah dan bunda terpelanting beberapa meter dari lokasi mobil mereka, sedangkan Gita dan Lala terhimpit di dalam mobil yang sudah ringsek bagian belakangnya.

Tiada yang sadarkan diri ketika masyarakat sekitar daerah mereka menghentikan mobil membantu mengevakuasi tubuh mereka. Tubuh mereka semua dibawa ke rumah sakit yang cukup jauh dari jalan itu. Jalan yang tadi mereka sempat lewati sebelum kejadian.

Setelah dibawa ke rumah sakit, Gita dan Lala mengalami luka parah di bagian kaki dan kepala, sehingga harus dioperasi. Pihak rumah sakit tahu mereka satu keluarga, jadi ruang operasi yang cukup besar diputuskan untuk mereka berdua dioperasi pada waktu bersamaan. Ruang rawat mereka juga diputuskan dalam satu ruangan yang sama.

Setelah dua jam pasca operasi, Gita pun sadarkan diri. Kejadian tadi masih terbayang dalam benaknya. Ia pun menanyakan keberadaan kedua orang tuanya pada perawat yang menjaganya di ruangan.

"Sebentar lagi dokter akan datang. Jadi, biar dokter yang menjelaskan keadaanmu, juga keadaan saudara dan orang tuamu ya," ucap perawat itu hati-hati.

Gita menghela napas pelan, dan tak lama air matanya menetes. Sungguh ia khawatir. Namun, ia berharap kedua orang tuanya baik-baik saja.

"Saya harap, kamu bisa istirahat dulu. Jangan banyak beraktivitas dulu. Hmm... perawat bilang, kamu menanyakan kedua orang tuamu dan saudaramu," kata sang dokter hati-hati.

Gita mengangguk cepat. Sang dokter pun menghela napas. "Kakakmu ada di sebelahmu. Dia belum sadarkan diri, tapi kondisinya mirip denganmu sekarang. Luka di bagian kaki dan kepala, serta dioperasi. Kalau kedua orang tuamu...kedua orang tuamu sudah berpulang ke rahmatullah, berpulang di tempat kejadian. Jasad kedua orang tuamu sudah dibawa menuju rumah."

Kekhawatirannya berubah menjadi tangis yang memilukan. Tangis yang akhirnya mengubah kehidupannya dengan sang kakak.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun