"Sekarang baru Gita aja, Bunda. Kak Lala belum bisa nyusul."
Aku kembali diam dan menghela napas sejenak.
"Bunda, gimana di sana? Apa di sana menyenangkan, sampai bunda berpulang duluan?"
"Bunda asik ya. Bunda gak ngerasain sakit. Bunda gak ngerasain lagi kebijakan pemerintah yang semakin membuat bingung. Bunda gak ngerasain lagi harga bahkan pokok semakin mahal. Bunda gak ngerasain lagi sedih di sana."
Lantunan ayat suci Al-Quran masih setia menjadi temanku di makam ini. Angin juga tidak lagi berhembus. Namun, ada kicauan burung yang terdengar.
"Bunda, Gita sekarang paham kenapa bunda serius meminta Gita sama Kak Lala untuk menjaga apa yang bunda dan ayah berikan. Ternyata bunda lebih percaya Gita sama Kak Lala daripada keluarga bunda dan ayah. Bunda percaya Gita dan Kak Lala bisa menjalani kehidupan ini bersama. Bunda percaya cuma Kak Lala yang ada buat Gita sampai nanti."
Lantunan ayat Al-Qur'an itu telah berhenti. Kicauan burung masih terdengar.
"Bunda, ternyata bunda percaya ya kalau Gita bisa. Cuma, Gita butuh waktu untuk mencerna semua itu, Bunda. Gita butuh waktu, sampai benar-benar merantau dulu untuk bisa menerima takdir ini. Takdir bahwa Gita harus membereskan luka Gita seorang diri."
"Bunda, Gita selalu rindu bunda. Dimanapun Gita berada. Gita sungguh rindu juga kehidupan Gita sendiri sebelum Gita harus menyembuhkan luka Gita seorang diri. Gita rindu Gita yang dulu, dan rindu juga dengan kehidupan sebelum bunda berpulang."
"Bunda asik ya. Bunda gak harus ngeliat Gita berjuang mencari pekerjaan yang semakin lama rasanya semakin banyak yang tidak cocok dengan kemampuan Gita. Bunda asik gak harus ngerasain dunia yang makin hari semakin gila."
Kini, hening menemaniku di makam ini. Suara kicauan burung pun telah hilang. Tinggal suara deru napasku saja yang terdengar.