Langit selalu tampak lebih biru ketika janji baru diumbar. Kata-kata yang berkilau seperti mantra diulang dari satu podium ke podium lain, membawa pesan yang sama: masa depan akan lebih baik. Kita mendengar janji itu, memeluknya seperti cahaya dalam gelap, dan percaya bahwa kali ini segalanya akan berbeda. Tapi sejarah selalu punya cara untuk mengulang dirinya sendiri.
Emha Ainun Najib pernah berkata, "Diberi harapan palsu, ternyata dibohongi lagi, lalu diberi harapan lagi, tapi ternyata dibohongi lagi…" Sebuah frasa yang menggambarkan lingkaran tanpa ujung, di mana harapan selalu dikemas ulang dan dijual kembali dengan harga yang lebih tinggi. Mungkin yang lebih tragis bukanlah kebohongan itu sendiri, melainkan betapa kita terus bersedia mempercayainya.
Kita hidup dalam dunia di mana harapan telah menjadi komoditas politik. Bagi rakyat, pemimpin ideal adalah Superman: sosok penyelamat yang turun dari langit, membawa keadilan, dan menghapus penderitaan. Superman bukan sekadar manusia biasa, ia adalah simbol moralitas yang tak tergoyahkan, seseorang yang akan mengorbankan dirinya demi kebaikan yang lebih besar. Sejak kecil, kita diajarkan untuk percaya pada figur seperti ini, bahwa keajaiban bisa datang dalam bentuk seorang pemimpin yang akan mengubah segalanya.
Tetapi bagi mereka yang berkuasa, konsep itu memiliki arti lain. Mereka tidak melihat dirinya sebagai Superman yang tunduk pada moralitas rakyat, tetapi sebagai Übermensch yang Nietzsche bayangkan dalam Also sprach Zarathustra. Übermensch bukanlah penyelamat, melainkan pencipta realitasnya sendiri. Ia tidak dibatasi oleh moralitas lama atau janji yang diucapkan di masa lalu, ia membentuk aturan baru, menulis ulang sejarah, dan mendikte arah ke mana dunia harus bergerak.
Di sinilah letak perbedaan fundamental yang membentuk jebakan sejarah. Kita mencari Superman, tetapi yang datang selalu adalah mereka yang melihat diri mereka sebagai Übermensch. Kita menunggu seseorang yang akan menyelamatkan kita, sementara mereka melihat kita sebagai massa yang bisa diarahkan, ditenangkan, dan, jika perlu, dimanipulasi.
Maka lahirlah permainan yang sudah berlangsung selama puluhan, bahkan ratusan tahun. Setiap kali kepercayaan mulai runtuh, janji baru dibuat. Setiap kali harapan mulai pudar, narasi baru dirancang untuk membangunkannya kembali. Kita diajak untuk percaya bahwa kesalahan masa lalu hanyalah kebetulan, bahwa orang yang kali ini berkuasa berbeda dari sebelumnya. Tapi pola yang sama selalu terulang, seperti jam pasir yang terus diputar kembali.
Harapan, dalam konteks ini, bukan lagi sesuatu yang tumbuh dari kesadaran rakyat, tetapi sesuatu yang dikendalikan dari atas. Ini adalah ilusi yang cukup kuat untuk membuat kita bertahan, tetapi tidak cukup nyata untuk benar-benar mengubah keadaan. Seperti seorang penumpang kapal yang terus dijanjikan bahwa pelabuhan sudah dekat, sementara kapal itu sesungguhnya hanya berputar-putar di lautan yang sama.
Di titik ini, kita harus bertanya: mengapa kita terus mempercayai janji-janji yang sama? Mengapa kita terus menunggu Superman, meskipun sejarah menunjukkan bahwa ia tidak pernah benar-benar datang? Mungkin jawabannya ada pada sesuatu yang lebih dalam: kebutuhan manusia untuk percaya bahwa ada seseorang di luar sana yang bisa membawa keajaiban.
Dalam psikologi, ini disebut sebagai external locus of control, kepercayaan bahwa nasib kita ditentukan oleh faktor eksternal, bukan oleh diri kita sendiri. Ketika sistem yang ada tidak memungkinkan perubahan dari dalam, maka satu-satunya harapan yang tersisa adalah perubahan yang datang dari luar. Maka kita membayangkan pemimpin ideal, seseorang yang bisa memotong semua rantai yang mengikat kita dan membawa kita ke dunia yang lebih baik.
Tetapi harapan semacam ini bisa menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, ia memberi kita sesuatu untuk dipegang di tengah ketidakpastian. Tetapi di sisi lain, ia membuat kita pasif, selalu menunggu seseorang untuk bertindak atas nama kita. Dan di sinilah para penguasa menemukan celahnya.
Jika kita terus percaya bahwa perubahan hanya bisa datang dari Superman, maka kita akan selalu mudah dipermainkan. Jika kita terus menunggu, maka mereka akan terus menjanjikan. Jika kita terus berharap, maka mereka akan terus menggunakan harapan itu sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan.
Lalu bagaimana kita keluar dari jebakan ini?
Nietzsche percaya bahwa manusia harus melampaui dirinya sendiri, bahwa kita tidak boleh terjebak dalam dogma dan harapan palsu, melainkan menciptakan nilai-nilai kita sendiri. Dalam konteks ini, mungkin yang perlu kita lakukan adalah berhenti mencari Superman.
Perubahan tidak datang dari satu sosok, tetapi dari kesadaran kolektif bahwa kita tidak bisa lagi membiarkan diri kita terus-menerus diperdaya. Harapan sejati bukanlah sesuatu yang diberikan dari atas, tetapi sesuatu yang tumbuh dari bawah, dari kesadaran bahwa kita memiliki kekuatan untuk menentukan masa depan kita sendiri.
Mungkin inilah saatnya kita berhenti menunggu dan mulai bergerak.
Mungkin inilah saatnya kita berhenti berharap pada Superman, dan mulai menjadi Übermensch bagi diri kita sendiri.
Karena jika tidak, kita hanya akan terus terjebak dalam lingkaran yang sama, di mana janji selalu terdengar baru, tetapi kenyataan selalu tetap sama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI