Di dunia kerja, ada satu fenomena yang sering terjadi tapi jarang dibahas secara terbuka, yaitu karyawan yang lebih pintar dari atasan justru dianggap sebagai ancaman. Lucu, kan?Â
Seharusnya, perusahaan senang kalau ada karyawan cerdas yang bisa membawa ide-ide segar. Tapi kenyataannya, tidak semua atasan bisa menerima itu dengan lapang dada. Â
Biasanya, masalah ini muncul karena perbedaan generasi dan pola pikir. Misalnya, seorang manajer generasi X atau awal milenial yang sudah puluhan tahun bekerja di perusahaan cenderung punya cara kerja yang sudah "patent."
Mereka merasa cara mereka selama ini sudah terbukti berhasil. Lalu, datanglah karyawan generasi Z atau milenial muda yang lebih kreatif, lebih cepat beradaptasi dengan teknologi, dan punya ide-ide baru yang lebih fresh.Â
Hasilnya bisa dua kemungkinan: diterima dengan tangan terbuka atau dianggap sebagai gangguan. Banyak atasan yang sudah lama bekerja di satu tempat punya mentalitas "Saya sudah lebih lama di sini, jadi saya pasti lebih tahu."Â
Mereka ingin tetap dihormati sebagai pemimpin dan bisa merasa insecure kalau ada bawahan yang tiba-tiba bersinar dengan ide-ide brilian.Â
Rasa takut kehilangan kendali atau bahkan digeser dari posisinya bisa membuat mereka menolak inovasi tanpa alasan yang jelas. Â
Selain itu, ada juga faktor komunikasi. Kadang, karyawan yang lebih pintar kurang memahami cara menyampaikan ide dengan strategi yang tepat. Mereka terlalu to the point atau tanpa sadar menunjukkan sikap yang terkesan "Saya lebih tahu dari Anda."Â
Nah, di sinilah konflik mulai muncul. Atasan bisa merasa direndahkan atau tidak dihargai, padahal niat karyawan sebenarnya hanya ingin membantu. Â
Jadi, kalau kamu merasa lebih pintar atau punya ide yang lebih modern dari atasanmu, bukan berarti kamu harus diam atau menyembunyikan potensimu.Â