Pertama, asalkan digeluti dengan sepenuh hati, keduanya ternyata bisa saling mengisi. Sebagai amsal, gara-gara bekerja sebagai analis ekonomi, saya jadi gemar menulis soal ekonomi dan keuangan.
Buah pikir soal isu ekonomi dan keuangan yang tengah hangat itulah yang saya tuangkan dalam kolom opini di berbagai surat kabar nasional. Salah satunya bisa Anda tengok sendiri di bawah ini.
Kedua, sama-sama membutuhkan sokongan atau dukungan internet. Terlebih sejak pandemi Covid-19 memaksa pembatasan aktivitas tatap muka, boleh dibilang internet adalah satu-satunya sarana yang bisa kita manfaatkan untuk terus berkarya.
Saya masih ingat betul. Sejak Maret 2020, kantor saya menerapkan kebijakan bekerja dari rumah atau work from home (WFH) kepada mayoritas karyawannya, termasuk saya. Rupa-rupa tugas yang semula digarap dengan format tatap muka, kini mesti dikerjakan secara tatap layar atau virtual.
Otomatis kebutuhan internet pun melonjak tajam. Betapa tidak? Saya bisa menghadiri empat hingga lima rapat virtual dalam sehari. Setiap rapat berdurasi satu hingga dua jam. Belum lagi kebutuhan internet untuk mencari data di jagat maya.
Yang menarik, disrupsi digital itu terjadi di segala lini kehidupan. Tidak hanya di ruang kantoran, tetapi juga di dunia kepenulisan. Selama pandemi, terhitung sudah lima kali saya menjadi pembicara dalam seminar kepenulisan. Seluruhnya pakai format virtual.
Saya memang percaya pada anggapan “berbagi tidak akan pernah merugi”. Selain aktif menulis dan berkompetisi, mengajar ilmu kepenulisan adalah cara saya berbakti kepada dunia yang, sedikit-banyak, telah membesarkan nama dan melejitkan potensi diri saya.
Internet adalah Segalanya
Walaupun bekerja dan menulis bisa dilakukan di rumah, tapi bukan berarti praktiknya bebas hambatan. Dulu sekali, saat kebijakan WFH baru saja diberlakukan, saya masih mengandalkan fitur thetering dari ponsel sebagai sumber koneksi internet di laptop saat bekerja.