Mohon tunggu...
Nizar Ibrahim H
Nizar Ibrahim H Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan Sunyi

Berpikir, bersabar, berpuasa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki Malam

21 Juni 2018   00:42 Diperbarui: 21 Juni 2018   00:41 810
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Hahaha kurang ajar! Aku juga punya tebak-tebakan."

"Sebentar, aku mau cerita."

"Aku duluan mau ta..."

"Tempo hari aku ke warung kopi langgananku. Kebetulan malam itu ramai sekali. Aku mengamati seorang barista tidak berhenti menulis pesanan beberapa orang yang berdatangan. Lalu, ia meracik kopi pesanan sebelumnya, dan orang baru datang lagi. Ia menyapa dan berhenti dengan kopi, sambil menunggu kata yang keluar dari orang baru untuk mencatat pesanannya. Setiap ada yang datang, minimal dua orang. Mereka egois, datang bersama, tapi pesannya sendiri-sendiri, bukan satu orang yang memesankan untuk kawan-kawannya."

"Lalu?"

"Lalu, aku lapar. Aku ingin memesan tempe mendoan. Tetapi, keinginanku terbentur dengan situasi yang membingungkan. Ini persoalan moral, Vi. Aku bimbang, dan aku lapar. Dengan memesan makanan, rasa laparku akan sedikit berkurang. Pemilik kedai juga akan bertambah pemasukan. Tapi, saat ini ia sedang sangat sibuk."

"Hanya ada satu orang?"

"Dua orang. Satu orang membuatkan kopi sekaligus penyapa, pencatat, pengantar kopi, kasir dan perantara untuk orang kedua di dapur sebagai pemasak makanan. Mungkin lebih enak didengar sebagai koki. Aku mengamati pekerjaannya. Apa aku pantas memesan demi perutku dengan situasi seperti ini? Dan mereka berdua juga kawanku, aku mengenal mereka. Kupikir, kawan yang baik tidak akan merepotkan kawannya sendiri."

"Hahaha kamu menjadi seorang filsuf ya sekarang. Pesanlah, jangan bimbang. Toh kamu pembeli, bayar pakai uang. Kecuali, kamu minta dan pulang begitu saja setelah habis makanan dan kopimu."

"Tidak, Vi. Aku tidak boleh memposisikan diriku sebagai pembeli. Dan, aku yakin, pasti terlintas di pikiran mereka, kenapa pesanan tidak selesai-selesai, malah bertambah banyak saja. Walaupun mereka bisa berdamai dengan pikirannya sendiri. Dan, akhirnya aku berani mencoba memesan dengan ragu. Rupanya waktu berpihak kepadaku, Vi. Tempe mendoannya sudah habis. Aku bersyukur, tempe-tempe itu sudah berada tepat di perut orang lain. Aku tidak terlalu menyusahkan kawanku sendiri."

Tiba-tiba ia terdiam. Aku semakin tidak mengerti bagaimana mendefinisikan dirinya. Anehnya lagi, ia menjadi seperti ini hanya saat malam hari. Seringkali aku mampu mendominasi, walaupun akhirnya dia yang memenangkan atau hanya diam. Rasanya, ia seperti tidak mengenali apapun selain aktivitasnya yang membingungkan juga. Sungguh, dia tidak bisa dimonopoli ketika ada matahari. Dan sepertinya, aku terjebak di dalam alam pikirannya yang tidak menentu. Aku pun turut terdiam, tidak melanjutkan obrolan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun