Mohon tunggu...
Yunita Kristanti Nur Indarsih
Yunita Kristanti Nur Indarsih Mohon Tunggu... Pendidik - ... n i t a ...

-semua karena anugerah-Nya-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

4 Upaya Jaga Kesehatan Mental Keluarga

4 Juli 2021   18:23 Diperbarui: 20 Mei 2022   22:22 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menjaga kesehatan mental keluarga (Sumber: pexels)

Pandemi bisa jadi banyak memberikan warna-warni di tahun-tahun ini. Banyak individu, korporasi, bahkan negara juga kewalahan hadapi hal ini. 

Lini pendidikan, ekonomi, sosial, hingga relasi terdampak. Seperti drama yang saya alami, malam tadi. 

Nampaknya saya cukup yakin menyeret pandemi sebagai alasan episode drama yang semalam terjadi.

Lampu notifikasi smartphone saya menyala dengan warna khasnya yang saya hafal betul medsos mana yang memberi info pesan. 

Pelan-pelan saya buka. Mulai membaca rangkaian-rangkaian kalimat-kalimat menegangkan dari seorang siswa, "Bu Nita, aku tu kenapa? Aku depresi atau apa, sih?"😓

Seorang pelajar SMA yang akan masuk masa-masa kuliah di tahun kerbau logam ini sudah menjadi klien konseling saya beberapa waktu terakhir. 

Seorang laki-laki ganteng, populer di sekolah, wajah dan gaya rambut ala opa-opa Korea sedang memberi isyarat pada saya dari pesan singkat itu.

Berselang 7 menit setelah itu, saya menghubunginya melalui sambungan telepon memberikan sedikit penguatan dan sugesti karena setelah pesan pertama saya terima, pesan kedua muncul dengan tulisan yang membuat detak jantung saya makin 'berdisko'. Parang dibawa-bawa dalam kisah emosinya saat itu!

Pesan lain masuk di menit ke 12. Pesan dari seorang ibu cantik yang kelihatannya menuliskan dengan banyak perasaan galau yang campur aduk karena habis bersitegang dengan anak laki-lakinya.

Menit ke 30, saya merangkum apa, siapa, mengapa, bagaimana hal itu terjadi. Lagi-lagi pemicunya menuduh 'kelelahan' mental akibat sumpek akut di rumah ditambah core pemicu masalah-masalah sebelumnya, peran dan fungsi komunikasi yang bias antara ortu dan anak.

Maafkan saya, pandemi, karena jika siswaku ini tidak dibatasi untuk mencari alternatif hiburan di luar rumahnya, bersosialisasi dengan teman-temannya untuk mencurahkan isi hati yang terpaksa terhenti setelah beberapa lama, mungkin timbunan-timbunan sampah mentalnya tidak meledak di rumah hingga menyertakan parang untuk menyerang Ibu cantiknya itu.

**

Jaga Kesehatan Mental Keluarga

Persoalan yang dialami anak dan ibu tersebut, bisa jadi juga dialami kita. Tidak pernah ada yang tahu seberapa besar derajat kerentanan kita terhadap masalah-masalah mental sebenarnya.

Pandemi ini dengan segala warnanya memang bisa menyumbangkan tingkat keparahan terhadap level kesehatan mental individu bila tidak bijak mengelola.

Jurnal CDC (Center for Disease Control) pun menyebutkan dampak yang sangat logis tercipta akibat pandemi yang belum usai bagi kesehatan mental individu. Ada banyak gejala-gejala terkait kesehatan mental terjadi di era pandemi ini.

Kecemasan, kelelahan mental yang terus-menerus terjadi karena salah kelola, stress dan depresi, hingga kecenderungan bunuh diri karena banyak aspek.

Ilustrasi Keluarga Harmonis / Sumber : Unsplash.com (John - Mark Smith)
Ilustrasi Keluarga Harmonis / Sumber : Unsplash.com (John - Mark Smith)

Bagi individu yang telah dewasa dalam menyikapi pembatasan, bukan hal sulit bahkan mudah untuk beradaptasi. Tetapi, tetap saja di lain sisi tentu ada titik jenuh yang dapat menyebabkan letupan-letupan emosi yang berujung pada rusaknya relasi sepeti kisah di atas, ketika pertahanan diri itu runtuh. Siapapun dapat mengalaminya.

Harus disadari betul bahwa atmosfer lingkungan berpengaruh besar pada tingkat kesehatan mental seseorang.

Hal apa yang bisa dilakukan untuk menjembatani kisah di atas:

1. Cermat Melihat Sikon Lingkungan

Memberi penilaian dengan teliti terhadap lingkungan kita termasuk individu yang ada di dalamnya menjadi kunci utama memelihara konektivitas relasi yang sehat dalam keluarga terutama dalam masa-masa siaga pandemi seperti yang sedang kita alami saat ini.

Bila dalam kondisi keletihan, kekurang nyamanan, atau kondisi lain yang tidak mendukung untuk melakukan komunikasi, tunggulah hingga reda dan dapat masuk ke dalamnya. Hal ini membantu menghindari persoalan rusaknya relasi.

2. Selesaikan Sisa Masalah, Jangan Tunda Hingga Memuncak 

Persoalan muncul ketika kita memendam sesuatu dan lawan kita tidak paham akan apa yang ada dalam diri kita. Apabila hal ini didiamkan terus-menerus, tentu akan menjadi bumerang bagi diri sendiri. 

Biasakan untuk rutin berbicara dan menyelesaikan masalah-masalah kecil yang mungkin saja berpotensi meledakkan emosi kita yang suatu saat dapat berpotensi merusak relasi.

3. Sadari Peran dan Fungsi Anggota Keluarga

Keluarga menjadi titik penting dalam pembahasan artikel ini. Karena dari sinilah semua hal dapat tercipta.

Ada hal penting yang harus digarisbawahi dari kisah di atas. Kelelahan mental bisa terjadi menimpa anggota keluarga karena ada kesenjangan peran di antara anggota keluarga, misalnya saja ayah dan ibu mengalami kebuntuan karena beberapa masalah di keluarga yang tidak selesai, sehingga, fungsi dan peran masing-masing tidak jelas. 

Kebetulan dalam kasus di atas, Ibu memiliki peran ganda, baik sebagai ibu rumah tangga maupun sebagai pencari nafkah. Nah, di mana ayah? 

Ini persoalannya, ayah gagal menempatkan diri sebagai pelindung, pengayom, pemberi kasih sayang, bahkan sebagai tiang utama pencari nafkan dalam keluarga.

Kekaburan fungsi dan peran menimbulkan masalah baru. Ibu mengalami kelelahan sehingga masalah sekecil apapun di rumah (yang kebetulan dialami siswa saya tersebut) menjadi pemicu ledakan hebat tersebut.

Hal-hal seperti ini apabila terus dibiarkan, pasti berpotensi merusak keluarga yang bisa saja berujung pada tragisnya nasib anak laki-laki tadi. 

Apakah bisa dibenahi? Pasti bisa jika ada niat baik menyelamatkan perahu keluarga.

Peran ayah juga sangat penting, not only sebagai pencari nafkah!

Anak-anak membutuhkan figur ayah sama penting dengan figur Ibu dalam kelelahan emosi.

4. Mengelola Kecemasan dan Stres

Semua mengalami masa-masa yang kurang nyaman saat pandemi ini. Tetapi kita tidak boleh terlalu lama terjebak dalam kecemasan dan pola stress ini. 

Mengembangkan potensi untuk kelola kecemasan dan stress merupakan salah satu bentuk coping/katarsis yang baik.

Energi harus difungsikan maksimal untuk mengembangkan diri sehingga nilai dan potensi diri bertambah.

Jika tidak bisa keluar karena adanya kebijakan pembatasan, cari hal yang Anda sukai yang akan menambah sukacita diri Anda. Tujuannya memperoleh perasaan senang, berharga, bahagia, dan sejumlah perasaan positif lainnya.

Mulailah dengan pemikiran bahwa keluarga adalah harta terbaik yang kita miliki, sehingga kita akan benar-benar menjaga keberadaannya, termasuk menjaga kesehatan mental tiap anggota yang ada di dalamnya.

Semoga bermanfaat.

Referensi: satu, dua

Catatan :

Coping = suatu upaya individu untuk atasi kondisi stress dengan melakukan upaya perubahan perilaku, sikap, kognitif yang bertujuan untuk mendapatkan rasa aman atau nyaman dalam diri.

Katarsis = Istilah yang pertama kali dicetuskan oleh Sigmund Freud yang berarti pelepasan (emosi) diri dari ketegangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun