Mohon tunggu...
Anissa
Anissa Mohon Tunggu... Buruh - Just like that

Sederhana dan Cukup

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Liam

28 April 2024   21:12 Diperbarui: 28 April 2024   21:32 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Leana bersenandung kecil menikamti udara di pagi hari, ketika ia berjalan menuju hutan pinus belakang gubuk tua milik ibunya. Tempat dimana sang ibu meramu segala macam obat-obatan dan melakukan berbagai eksperimen untuk menemukan ramuan baru yang lebih berkhasiat.

"Ana, jangan jauh-jauh. Ibu tidak bisa mengawasimu." Itu perintah ibu yang selalu dinantikan Ana. Dengan begitu ia bisa pergi jauh dan kembali sebelum ibunya selesai dengan ramuannya.

"Iya bu, aku hanya melihat-lihat hutan pinus saja di sini."

"Bagus, malam ini bulan purnama Ana. Sebaiknya kau tetap di tepi hutan saja." Ibu berteriak dari arah dapur menuju teras belakang gubuk. Perkataan ibu tidaklah masuk akal, ini masih pagi kenapa pula sudah membahas nanti malam.

"Kau aneh sekali bu, sekarang ini masih pagi." Ana menyentuh dedaunan tanaman milik ibunya dan menimbulkan sensasi dingin yang menyegarkan.

"Nak, kau tidak akan pernah tahu apa dan bagaimana alam ini hidup sampai kini. Kita yang hanya manusia dan bahkan pendatang baru bagi alam ini, harus menghargai dan menghormati apa yang sudah ada sejak dulu."


"Ibu itu sungguh kuno. Kita manusia dan alam itu makhluk ciptaan Tuhan." Mendengar balasan Ana, ibu menggelengkan kepala.

"Sudahlah, bermainlah sepuasnya di tepi hutan itu, jangan ganggu ibumu ini dengan ucapanmu yang memusingkan itu.

Ana bersorak riang, dengan pelan ia berjalan menuju tengah hutan pinus itu. Ia telah sepenuhnya mengabaikan larangan ibunya. Ia pikir ini masih pagi tak akan ada marabahaya seperti yang dikatakan ibunya di pagi hari ini.

Hutan yang redup karena pepohonan yang tinggi dan rimbun, tiba-tiba menggelap dalam sekejap seolah menjadi malam hari. Matahari yang semula tampak dari sela-sela pucuk pepohonan pinus, kini telah lenyap berganti menjadi bulan yang bersinar terang dengan bulatan sempurna.

Ana justru terpukau dengan kejadian yang ia alami ini. Tak ada rasa takut sedikit pun dalam hatinya, ia sungguh mengharapkan keajaiban seperti ini, untuk terjadi walau sekali dalam seumur hidupnya.

"Aku pikir sebentar lagi akan ada serigala kesakitan." Itulah legenda manusia harimau yang sering ia dengar dari cerita ibunya. Pada malam bulan purnama merah, manusia setengah hewan itu akan memiliki kekuatan berkali-kali lipat. Tapi sebentar,  ibu bercerita kalau itu harimau, dalam pikirku itu malah serigala, lantas di depannya kini, kenapa bukan harimau atau pun serigala?

"Gigi taring tajam memang, dia sungguh tampan dan dalam film Twilight Saga ia adalah musuh serigala. Sepertinya cerita ibuku ada yang salah. Di hutan pinus ini aku bertemu dengan vampir."

"Tenang saja, aku memakai jubah milik Doraemon yang membuat vampir itu tentunya tidak bisa melihatku. Aku sudah memikirkan segala konsekuensi dan solusinya untuk masuk ke hutan pinus ini. Oleh karena itu, ibuku tak pernah sadar karena aku selalu kembali dengan keadaan baik-baik saja. Bahkan ibuku mengira aku masih di taman penuh dedaunan itu."

"Aroma, aku melupakan ramuan untuk menyamarkan aroma tubuhku. Sangat berbahaya jika aku bertemu dengan makhluk berbahaya yang memiliki indera penciuman tajam. Jubah ini dapat menutupi aroma tubuhku untung saja." Ana bermonolog sendiri, ia naik ke salah satu dahan pohon pinus dan melihat sekitar dengan posisi pijakan yang lebih tinggi agar matanya mencakup jauh ke sekeliling.

Ia menemukan rumah pohon yang berjarak kurang dari satu kilometer, dengan senang hati ia berlari ke arah pohon berbatang besar dengan diameter lebih dari satu meter menurut penglihatan Ana. Dalam kegelapan itu, ia bisa melihat dengan jelas karena mencuri ramuan vitamin A milik ibunya, yang ternyata sangat bagus untuk penglihatan di malam hari.

Rumah pohon itu semakin dekat dalam jangkauan Ana. Suara seseorang mengerang kesakitan mulai terdengar dari arah rumah pohon itu. Rasa penasaran membuat Ana segera naik melalui tanggga tali yang terjalin untuk sampai ke rumah pohon di atas sana. Ana melihat rumah pohon itu dengan pandangan mata berbinar. Ia akan menemukan fakta menarik di sana. Denyut jantungnya berdetak cepat seiring jangkauan kakinya menepaki kayu tangga tali itu.

Sampai akhirnya ia berada di tangga terakhir dan dengan perlahan ia mendekati jendela samping pintu masuk yang tertutup rapat. Ana memperhatikan alas rumah ini yang ternyata seluas dua meter persegi. Ia kagum dengan bagunan ini, sungguh ia sangat ingin untuk menjadikan tempat ini sebagai basecampnya. 

Erangan kesakitan, membuat Ana mengalihkan perhatiannya kembali pada jendela di sampingnya. Seorang lelaki tengah bersandar di sudut rumah pohon itu. Sungguh terlihat menyedihkan dengan mata sayupnya dan lingkaran hitam yang membuatnya terlihat seperti panda. Tapi ia lebih mirip seperti tahanan, dengan tangan dan kaki diikat ke kayu.

Sekali lagi dengan kekuatan Doraemon dari kantung ajaibnya Ana menembus pintu kayu untuk melihat lelaki mengenaskan itu lebih dekat. "Sebenarnya dia sangatlah tampan dengan rambut ikalnya, dahi yang agak lebar. Telinga yang entah kenapa sedikit runcing, mata yang sayu, tampak hitam pekat." Namun memantulkan cahaya dan Ana tersadar, lelaki itu mendogakkan kepala, pupil matanya menunjukkan bahwa ia melihat Ana.

Ana tertegun di tempat, "Apa ini?" Dengan suara berat menahan sakit, lelaki itu berkata, "Dari pada kau terus-terusan memujiku, lebih baik tolonglah aku dulu."

"Sungguh kau bisa melihatku? Bahkan mendengarku berbicara?" Ana berjalan mondar-mandir di depan lelaki itu sambil berkacak pinggang.

"Apakah keajaiban jubah Doraemon ini telah luntur? Tapi itu tidak mungkin, jubah ini telah terpercaya selama juataan tahun."

Ana mendekatkan wajahnya sampai hanya berjarak satu inchi dengan wajah lelaki itu lalu berkata, "Apakah kau makhluk astral?" 

Meski pun dalam keadan lemah, lelaki itu menunjukkan senyum sinis yang cukup menakutkan. Dengan segera Ana hendak menjauhkan wajahnya, namun tangan kanan lelaki itu meraih tengkuk Ana dan menempatkan telinga gadis itu di dadanya.

"Dengarkanlah detak jantung ini, yang sungguh sangat menyakitkan di setiap tarikan napasku." Perlahan Ana meraba dada lelaki itu yang tepat berada di depan wajahnya, tempat pipinya bersentuhan dengan dada bidang berlapis kaus bergaris merah putih.

"Bagaimana dengan ini, apakah masih sakit?" Napas lelaki itu kian memburu, terasa panas di puncak kepala Ana. Dan kini kedua tangan lelaki itu sepenuhnya merengkuh tubuh Ana. Entah bagaimana tali dari sulur tanaman tebal itu mengendur membuat lelaki itu dapat bergerak lebih leluasa.

"Kau akan tetap si sini bersamaku kan?'

"Kau siapa?"Ana mendongakkan kepalanya, ia melihat kumis tipis di atas bibir tebal lelaki itu, lalu hidung mancung yang sangat ia idamkan, sayangnya ia terlahir dengan hidung biasa saja. Tapi aku harus tetap bersyukur masih punya hidung.

"Liam, aku Liam dan kau?" Liam juga melihat ke arah Ana, yang membuat gadis itu memilih untuk kembali mendengarkan detak jantung Liam yang jadi seirama dengannya.

"Aku memakai jubah ajab kenapa kau bisa melihatku?" Liam meraih tangan Ana yang berada di dadanya lalu menghirup aroma tangannya.

"Kenapa Liam?" Ana kembali mendongakkan kepalanya, sedangkan Liam fokus memainkan tangan kanan Ana.

"Biarlah semua seperti semestinya, kau dan alam duniamu, begitu juga aku dengan alam duniaku. Terima kasih Ana."

"Kau bahkan tahu namaku." Liam kembali memposisikan Ana untuk bersandar di dadanya.

Kantuk mulai menguasai pikiran Ana untuk tidur dalam rengkuhan Liam, sampai ia tersadar dan bangun di kamarnya sendiri. Dengan hati terasa kosong seolah kehilangan sesuatu. Dan benar nyatanya bahkan namanya saja tak terlintas dalam ingatan Ana pagi itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun