Gending dan Kidung Cinta Â
Sayup-sayup terdengar gending jawi asmorondono dari kejauhan. Bangunan kokoh yang telah dihiasi bunga warna-warni terhampar menutupi seluruh area. Janur kuning melengkung menjulang tinggi di ujung jalan dan pintu masuk menandakan bahwa  sedang terjadi suatu pernikahan.
Begitu berat kaki Amira melangkah, tertunduk dan sudah berapa lama hati berkecamuk dan masih berdiri terpaku di seberang jalan. Keringat dingin, wajah pucat, hati dag dig dug tak karuan menghiasi relung hati Amira.
Deg ... begitu menekan kalbu terdalam bertanya mengapa rasa ini tak pernah bisa berpaling dari bayang-bayangnya. Tidak cukupkah biar menjadi kenangan saja.
"Ya Allah, ternyata begitu rapuh ruang hatiku, kuatkanlah hamba-Mu ini ...," pinta Amira terdengar lirih keluar dari bibir mungilnya.
"Kenapa Mir, kok lesu?" tanya Lisa sambil menggoyangkan bahunya.
"Udah, ayo pulang saja," bisik Mira dengan wajah sendu.
"Lho, baru sampai kok pulang, acaranya baru mulai, lihat itu pengantinnya, Â 'kan baru masuk pelaminan," Lisa menunjuk kedua pasangan serasi itu berjalan diiringi irama gending jawi.
Mata nanar Amira tidak bisa dibohongi. Melihat  kebahagiaan sepasang pengantin dari kejauhan, air  matanya mengalir tak terbendung lagi. Tak berlangsung lama, Lisa segera menyeret tangannya menjauh.
"Amira," serunya sedikit keras kepadanya. "Apa yang terjadi denganmu?" didudukkanlah Amira di bawah teduhnya pohon samping gedung.
Tak kuasa menahan tangis, Amira memeluk erat sahabat baiknya itu. Lisa pun berusaha menenangkan hati dan memintanya mengambil napas dalam-dalam.
"Amira, please ... tenangkan dirimu," lirih Lisa sambil mengusap air mata sang sahabat yang terus berderai deras.