Belalang terperanjat. Ia baru sadar, selama ini ia memang terkenal sebagai pelompat terhebat. Kalau ia berubah menjadi kupu-kupu, kelebihannya itu justru hilang.
Burung kecil pun ikut menimbrung, suaranya lembut seperti sedang bersenandung,
"Pok ame-ame, belalang kupu-kupu,
Siang makan nasi, kalau malam mimik cucu..."
Teman-teman yang lain tertawa kecil, suasana pun mencair. Burung kecil melanjutkan,
"Lihatlah, bahkan lagu anak-anak menyebutmu sejajar dengan kupu-kupu. Itu artinya kamu juga istimewa. Tidak perlu berubah jadi siapa pun, cukup jadi dirimu sendiri."
Belalang terdiam lama, lalu perlahan tersenyum. "Benarkah? Jadi... aku tidak jelek?"
"Tentu saja tidak!" jawab Jangkrik mantap.
"Sayapmu mungkin sederhana, tapi lompatmu luar biasa. Kau punya kelebihan yang tak dimiliki kupu-kupu," kata Lipan.
"Dan kau punya sahabat-sahabat yang menyayangimu apa adanya," tambah Cacing.
Mendengar itu, hati Belalang hangat. Rasa minder yang menghimpit dadanya perlahan sirna. Ia melompat sekali---tinggi, cepat, kuat. Teman-temannya bersorak gembira.
"Itulah Belalang yang kita kenal!"
Sejak saat itu, Belalang tidak lagi bertapa. Ia kembali riang bermain bersama. Ia sadar, keindahan bukan hanya soal rupa, melainkan juga soal hati dan kemampuan yang diberikan Tuhan.
Dan setiap kali mendengar anak-anak menyanyikan, "pok ame-ame belalang kupu-kupu...", Belalang hanya tersenyum. Ia tahu dirinya berharga, bukan karena menjadi kupu-kupu, melainkan karena menjadi Belalang yang sesungguhnya.